Aku tidak menghubungi Cheska seperti yang kujanjikan padanya pagi tadi. Kepalaku terlalu penuh untuk memikirkan apa pun saat ini. Aku bahkan menghindar dari Rowan dan Paul.
Aku tahu, memang salahku sendiri dan aku sudah membayangkan konsekuensi terburuk akan kudapatkan. Namun, ketika benar-benar menghadapinya, aku tidak bisa bilang aku sepenuhnya siap. Rasanya tetap mengecewakan.
Setelah dua belas tahun aku bekerja untuk perusahaan berengsek itu, hari ini mereka—para petinggi di perusahaan itu—memperlakukanku seperti sampah. Dengan wajah yang tanpa dosa, atasanku dari kantor pusat bilang bahwa cabang di Lubuk Linggau sedang membutuhkan Supervisor Marketing dan mereka menganggap aku layak untuk mengisi posisi itu. Berengsek! Kalau memang aku layak, seharusnya sekalian jadi BM—Branch Manager—bukannya sekadar mutasi tanpa ada peningkatan jenjang karier!
Cara licik itu tentu saja terbaca olehku dengan baik. Mereka ingin aku mengundurkan diri, agar tidak ada pesangon besar untukku.
Aku menyesap rokok dalam-dalam. Membiarkan rasa pahit tembakau memenuhi rongga dada, lalu kuembuskan semuanya perlahan-lahan melalui hidung. Sejauh ini, rokok dan alkohol selalu menjadi pelepas penat terbaik yang jarang membuatku kecewa. Namun, malam ini rasanya cukup rokok saja yang menemaniku.
Sampai akhirnya ponselku berdering. Cheska menelepon.
Aku mengesah. Tidak ingin diganggu, tapi aku merindukan suaranya. Dan sejak tadi pagi, aku tahu bahwa suara saja tidak cukup untukku. Aku menginginkannya lebih.
Karena itu kutolak panggilan telepon itu, lalu kuhubungi dia lewat panggilan video.
Wajah polos tanpa riasan itu seketika memenuhi layar ponselku. Dia tampak cemas.
“Mas baik-baik, kan?” tanyanya tanpa menyapa lebih dulu.
Aku mengangguk. “Maaf, ya. Urusan di kantor bikin pusing jadi lupa nelpon kamu.”
Rasa bersalah tampak jelas di wajah Cheska. Dia tiba-tiba mengucapkan pamit setelah memintaku untuk beristirahat saja.
“Sekarang sudah mendingan, kok.” Aku memberinya senyum.
“Kalau ada masalah, Mas bisa cerita sama aku. Mungkin aku tidak bisa bantu apa-apa, tapi setidaknya masalah itu nggak jadi beban karena Mas pendam sendirian.”
Ucapan itu seperti guyuran air dingin di tubuhku. Tahu-tahu keinginan untuk memeluk perempuan ini membuncah di dalam dadaku. Ah, pandemi sialan.
“Kamu yakin mau dengar cerita Mas? Nggak akan bosan?”
Cheska mengangguk mantap, lalu tatapannya terpaku padaku. Dia menungguku memulai, lantas aku pun tidak membuang waktu lama untuk mengungkapkan segalanya.