Tatapan Paul begitu menusuk, dia lantas menyela. “Ayah suka sama Buk Cheska? Idih!”
Aku tertawa lalu melanjutkan, “Iya, Paul. Ayah suka sama Bu Cheska. Dengan saling mengenal dan saling suka, Ayah bisa cari tahu kira-kira Bu Cheska cocok nggak untuk jadi ibu kamu.”
Paul melompat dari sofa dan berlari menjauh. Dia menatapku dengan ngeri. “Bu Cheska jadi ibuku? Nggak mau! Aku nggak suka sama Bu Cheska, dia sukanya marah-marah terus! Aku takut kena marah setiap hari!”
Aku menyusulnya dan berusaha memeluk anak sematawayangku itu. “Paul, itu berarti bukan cuma Ayah yang harus mengenal Bu Cheska. Kamu juga. Sejauh yang Ayah kenal, Bu Cheska nggak sejahat itu, kok.”
Paul menolak percaya. Dia lantas menatapku lekat-lekat. “Memangnya Bunda kenapa, Yah? Kenapa aku harus punya ibu baru?”
Aku mendudukkan Paul di atas konter dapur, lalu mengambilkan puding roti keju yang sudah dingin untuknya.
“Kita sudah pernah membahas ini, Paul. Ayah tidak akan mengulanginya lagi hari ini.”
Paul menunduk pasrah. “Baik, Yah.”
Dia menurut saja saat aku menyuapinya puding roti keju kesukaannya. Suap demi suap, puding itu dia habiskan sendiri sampai setengahnya. Aku mengecup dahinya. “Kamu anak yang baik. Makanya Ayah harus mencarikan ibu yang baik juga buat kamu. Buat kita berdua.”
Momen kebersamaanku dan Paul dihancurkan oleh Rowan yang menerobos masuk lewat pintu depan, lalu menyambar puding roti keju jatah anakku. Dia melahapnya sampai habis dalam satu kali suapan besar.
Dengan tubuh yang basah oleh peluh, Rowan mengunyah puding di mulutnya sambil tersenyum senang. Entah kenapa dia masih bisa sebahagia itu, padahal sudah hampir lima bulan pusat kebugaran miliknya terpaksa ditutup karena pandemi. Dan Rowan sama sekali tidak mengalami masalah keuangan yang berarti meski usahanya ditutup. Itu karena dia memiliki sumber uang yang lain, yaitu dari menjual produk susu protein dan suplemen kebugaran, dan dia juga cukup sering menerima permintaan untuk mempromosikan produk kesehatan di akun Instagram-nya.
Aku sering sekali mengejeknya jual badan, tapi dia balas mengejekku dengan telak. “Setidaknya badan ini dihargai orang, daripada badan lo yang makin hari mirip karung beras.”
“Jangan cuma makan, komentarin dong itu puding kurangnya di mana,” semburku.
Rowan lantas mundur dari konter, berdiri dengan kedua kaki yang dibuka lebar-lebar. Dia melipat kedua lengannya yang setebal pahaku—tentunya dalam versi lebih banyak otot. Dia tersenyum sinis lalu berkata, “Manisnya pas, tidak ada masalah berarti. Tapi buat gue ini acidity-nya kurang.”
Aku melemparinya dengan sendok—dengan jarak yang cukup dekat, tapi tetap tidak kena karena dia sangat gesit. “Jangan berlagak juri lo! Gue cuma minta komentar, puding ini layak jual atau nggak?”
Rowan bilang, sudah enak dan sangat layak dijual. “Lo cuma perlu cari wadah yang simpel tapi berkelas, dan buat logo. Biar bisa main harga. Terus jangan lupa bikin akun Instagram untuk promosi. Nanti gue bantu kalau urusan itu.”