Shopping Bag Companyđź“Ť
“Nomor 11, silakan masuk!”
Sambil mengembuskan napas ia terus berjalan mendekati pintu masuk yang sudah ditentukan oleh pihak perusahaan. Rambut sebahu, mengenakan setelan hitam putih, sepatu hak hitam dan name tag di dada sebelah kanan yang bertuliskan– Nomor 11–Zhea Rayyana.
“Terima Kasih!” ucapnya sambil menebar senyuman tipis pada karyawan wanita yang mempersilakannya tadi.
Zhea terus melangkahkan kakinya menuju pintu masuk. Sesampainya di sana, ia membuka pintu itu dan masuk ke dalam ruangan wawancara. Ia kemudian dipersilakan duduk oleh salah seorang yang ada di dalam ruangan tersebut.
Suasana tegang, ruangan dingin dan perasaan mendebarkan membuat aliran darah ke jantungnya memompa semakin menggila. Sekujur tubuhnya terasa dingin, lidahnya tiba-tiba menjadi kelu dan perut pun ikut-ikutan sakit. Hal ini sudah biasa terjadi setiap kali ia dihadapkan pada perasaan gugup atau cemas berlebihan.
Tiga pasang bola mata di hadapannya kini fokus memandangi dan membolak-balikkan lembaran kertas yang ada di atas meja mereka.
“Zhea Rayyana. Sarjana Ilmu Komunikasi, usia 25 tahun ...," ucap wanita paruh baya itu membaca daftar riwayat hidup milik Zhea. Ia adalah Grace Maria. Tim pimpinan perusahaan shopping bag.
“–Kenapa kamu melamar ke perusahaan ini?” Ia berbicara lagi, tapi kali ini untuk memberikan sebuah pertanyaan. Pertanyaan menjebak yang dirasakan Zhea sebagai pelamar kerja. Sempat diam selama beberapa detik untuk memikirkan jawaban, Zhea akhirnya berhasil menemukan satu jawaban yang membuatnya yakin dan percaya diri atas pilihannya tersebut.
“Hidup adalah pilihan. Saya percaya dengan kalimat ini. Setiap orang akan memilih segala yang terbaik untuk hidup mereka saat harus membuat sebuah keputusan. Tentunya, sebelum melamar ke perusahaan ini saya sudah membuat pilihan dan keputusan yang saya rasa baik,” jawab Zhea, sambil mempertemukan sepuluh jari tangannya dengan kuat agar tidak gugup.
“Lalu, seandainya kamu diterima bekerja sebagai spesialis media sosial, kontribusi apa yang akan kamu berikan untuk perusahaan ini?” tanya tim pimpinan itu lagi. Ia melihat Zhea dengan tatapan menakutkan. Sikapnya begitu tegas.
“Saya adalah orang yang berdedikasi tinggi dalam pendidikan dan pekerjaan saya. Ketika saya diberi kesempatan untuk bekerja di perusahaan ini, tentu nantinya saya akan selalu berusaha semaksimal mungkin melakukan hal terbaik dalam pekerjaan saya. Selain itu, saya adalah orang yang loyal dan kreatif.” Zhea menjawabnya dengan penuh percaya diri lagi.
Ketiga petinggi di perusahaan itu serempak menganggukkan kepala mereka. Seakan suka dan setuju dengan jawaban yang diberikan oleh Zhea.
“Kamu suka menulis?” tanya pria berusia 30 tahun itu. Ia adalah HRD di perusahaan ini. Namanya Rumi. Wajahnya mirip pemain bola timnas Indonesia. Shayne Pattynama. Tampan memang.
“Iya, betul Pak.”
“Kalau begitu kenapa kamu tidak berkarier di dunia kepenulisan saja?”
“Jika saya bisa melakukan hobi atau hal positif secara bersamaan, saya rasa saya tidak perlu untuk membatasi diri saya. Kebetulan saya sedang berusaha untuk menjadi penulis novel, Pak.”
“Oh wow…, menarik sekali! Oke.” Pungkas HRD itu yang merasa puas mendengar jawaban Zhea.
“Berapa gaji yang kamu harapkan jika diterima bekerja di sini?” pertanyaan baru diajukan kembali oleh pria paruh baya berkacamata tebal. Ya ... kira-kira perawakannya mirip seperti Jack Ma. Pebisnis kaya raya asal negara Tiongkok. Ia adalah Muhammad Salim, CEO dari perusahaan shopping bag.
Aishhh, pertanyaan ini yang paling gue gak suka setiap kali wawancara kerja. Duh, gue jawab apa, ya ….?
Masih menggenggam kuat sepuluh jemari tangannya, Zhea sekarang juga mengentakan kedua kakinya secara pelan. Ia sedang memikirkan jawaban dalam waktu singkat.
“Hm…, saya tahu membahas gaji adalah hal yang sensitif saat wawancara kerja ya, Pak. Saya juga tidak tahu jawaban seperti apa yang ingin bapak dengar dari saya. Tapi saya mencoba untuk terbuka dalam diskusi ini. Saya tidak ingin menyebutkan nominalnya, tapi saya harap saya bisa digaji sesuai dengan jam kerja saya dan juga kemampuan saya.”
Aduh … kira-kira jawaban gue udah betul apa belum, ya?
Pak Salim terlihat memberikan centang pada kertas rekrutmen karyawan baru di profil Zhea.
“Bagaimana? Sudah?” Pak Salim bertanya pada HRD dan Tim pimpinan.
“Oke,"
“Sudah."
HRD dan Tim pimpinan pun menjawab secara bergantian.
“Baiklah, Mbak Zhea. Untuk info selanjutnya pihak perusahaan saya akan menghubungi Anda lagi.” ucap Pak Salim.
“Baik. Pak, Buk. Terima Kasih,” ucap Zhea, sambil membungkuk memberi hormat.
“Sama-sama, silakan!” Bapak HRD berbicara tersenyum ramah mempersilakan Zhea keluar dari ruangan tersebut.
Urusan wawancara kerja telah selesai. Kini kakinya melangkah keluar dari perusahaan shopping bag. Tepat di depan pintu keluar, mata sipitnya menatap indahnya langit biru muda dan teriknya matahari sore. Sehingga muncullah hasrat di dalam dirinya untuk minum segelas es latte. Ia langsung buru-buru mengambil motornya yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar.
🍀🍀🍀
Motor matik putih. Motor ini sudah hampir 3 tahun menemani Zhea ke mana-mana. Sedari ia masih menjadi seorang Mahasiswi Ilmu Komunikasi. Sejauh ini James masih baik-baik saja. Belum pernah rusak yang sampai parah. Iya, James. Nama motor Zhea. Nama itu ia beri waktu pertama kali membeli motornya. Setelah menyalakan motor, ia kemudian memasang helmnya dan beranjak pergi dari perusahaan tadi.
Coffee Shop Love and Inspirationđź“Ť
–Buka Pintu Masuk–
Ia menarik pintu kedai kopi sambil berjalan masuk ke dalamnya.
“Selamat datang di Coffee Shop Love and Inspiration!" sambut salah satu barista di dekat pintu masuk dan mesin pembuat kopi.
“Mau pesan apa, Kak?” tanya barista pria lainnya pada Zhea.