Romansa Dunia Berikutnya

Achmad Afifuddin
Chapter #1

Chapter 1: Hari ke-30

Malam yang dingin kini kembali mencekam tubuhku. Di ujung dermaga, lagi-lagi Aku menghabiskan waktu untuk menatap jauh ke arah lautan yang beriak. Lampu-lampu yang terlihat kecil dari kapal penangkap kepiting masih berpijar menerangi ujung-ujung lautan. Sementara Aku, hanya bergumam demi mencerna semua yang telah terjadi akhir-akhir ini.

“Hari ini biasa-biasa saja. Tak ada agenda makan-makan, atau pun minum-minum. Semua orang kembali sibuk dengan pekerjaannya. Tangisan-tangisan itu tak ku dengar lagi sejak seminggu yang lalu.”

Setelah menghabiskan waktu berjam-jam dengan termenung di ujung dermaga, Aku pun beranjak. Melewati bebatuan yang basah karena ombak, pasir pantai yang terkadang dihiasi kulit kerang dan sampah pohon kelapa, sambil menatap kosong ke depan. Di ujung pantai terdapat sebuah warung yang masih buka, “Kedai Hidangan Laut”.

Aku tidak tahu pukul berapa saat itu, tapi sepertinya sudah menjelang tengah malam. Kini ku lihat seorang pria 30-an masih sibuk mengutak-atik mesin kapalnya.

“Mereka sibuk sekali, sampai bekerja hingga selarut ini.”

Segera kutepiskan gumamanku, “Ah, dahulu Aku pun begitu. Kerja hingga larut malam, dan hanya menghabiskan uang hasil kerjaku untuk minum-minum.”

Aku tertawa tipis. Mengingat masa-masa itu, di mana ku pikir hidup hanya untuk hari itu, dan tak ada hari esok.

“Percuma saja bekerja keras. Uang itu akan terpakai untuk hal-hal yang tidak pernah diduga, dan ujung-ujungnya akan habis.”

Mungkin wajar saja Aku berpikir demikian, musabab latar belakangku yang hidup jumpalitan, bak roller coaster yang sebentar berada di atas lalu kembali ke bawah, dan tidak memberiku waktu sedikit pun untuk menghela napas.

Aku pun terduduk di warung makan itu, “Kedai Hidangan Laut”. Seorang wanita seumuran bapak-bapak teknisi kapal tadi, kini keluar dengan membawa beberapa alat makan. "Mungkin saja isteri nya.” Namun, ia tidak menyapaku, hanya sekadar berlalu dari hadapanku, seraya tidak ada orang di sana.

Lagi-lagi orang lain tidak melihatku. Di sela-sela lamunanku di warung tersebut, wanita itu kembali masuk, lalu kembali keluar dengan membawa se-ember penuh makhluk laut. Ku lihat ia membersihkan beberapa ekor ikan, kepiting, udang, dan kerang, kemudian membumbuinya dengan cairan merah yang terlihat asam.

“Aku masih ingat bagaimana rasa daging kepiting, manis dan lembut, walau hanya dapat sedikit. Namun kini Aku memegangnya saja tak kuasa.” Aku bagaikan seseorang yang hidup tanpa nafsu. Tiada rasa lapar, haus, hingga keinginan untuk melakukan hubungan seksual. “Betapa malangnya diriku kini, makananku hanya pikiran-pikiran yang berisi penyesalanku di masa lalu.

Di sela-sela lamunanku, suara-suara tersebut kembali terdengar, “Aku merindukanmu, Aku ingin engkau kembali, Aku berharap engkau mendapat kelapangan.”

“Kali ini siapa lagi yang berdoa untukku? Padahal sudah tengah malam, seharusnya mereka tidur,” gumam ku. Pikirku, percuma saja, tak ada gunanya menangisi dan mendoakan orang-orang senasibku.

Aku kembali berjalan menyusuri pantai, menuju ke sebuah jalan sempit yang menghubungkan antara pantai dan jalan utama. Di sepanjang perjalanan, Aku tidak dapat memikirkan apapun. Mungkin isi kepalaku sudah terlalu penuh oleh pertanyaan-pertanyaan antara nol dan satu. Kini Aku mengerti, bahwa terlalu banyak berpikir akan membuatmu melamun kosong.

Tak berselang lama, langkah kakiku mengantarkanku tiba di sebuah taman. Dahulu jarak dari pantai ke taman ini sekitar satu setengah jam, tetapi kini hanya seperti selangkah. Ku pikir ada untungnya juga kondisiku kini. Sama seperti biasanya, taman tersebut terlihat kosong. Tak ada satu pun aktivitas, mungkin mereka semua sudah terlelap. Lagipula siapa yang akan pergi ke taman malam-malam begini? Mungkin hanya dari golongan jin dan syetan yang masih merayakan hari di tengah malam.

Aku pun beranjak ke sebuah kursi yang berada di tengah-tengah taman, di sana juga terletak sebuah pohon besar yang tampaknya akan melindungi siapa pun yang duduk di kursi itu, termasuk dari air hujan. Kursi tersebut tampak seperti baru, mungkin saja baru di cat. Padahal, sebelumnya sudah tampak reyot dan usang. Ku coba untuk mendudukinya, dan ya, tidak terjadi apapun.

“Ah, ini sudah hari ke-30. Sampai kapan dia tak datang?”

Ya, Aku telah membuat janji dengannya. Menunggu dia di kursi taman itu, entah sampai kapan. Perjanjian tersebut sudah kami adakan sejak lama. Sejak nasib masih mengizinkanku untuk bertemu dengannya, bertatapan dengannya, atau bahkan menyentuhnya. Namun, sejak saat itu Aku belum melihat dia datang kembali, "Mungkin ia masih sedih karena perpisahan itu, atau mungkin ia telah melupakanku." Aku tidak ingin menemuinya di tempat lain, atau lebih tepatnya Aku belum siap menemuinya selain di sini. Satu hal yang pasti, ketika ia telah melewati antara nol dan satu, Aku lah sosok yang harus pertama kali ia lihat, dan Aku siap menyambutnya kapan pun itu.

"Semoga takdir segera membawanya kemari. Setidaknya, Aku ingin melihat wajahnya yang cantik, yang terakhir terlihat sembab karena menangisi ku semalaman."

Malam itu semakin larut, sepertinya sudah menjelang pagi, tetapi Aku belum juga beranjak dari kursi tersebut. Pikirku, sepertinya ia tidak akan datang dalam waktu dekat. Mungkin Aku harus menunggu di sana berpuluh-puluh tahun lamanya. Menunggunya menikah, memiliki anak, cucu, hingga akhirnya tua dan memaksanya melewati antara nol dan satu.

Kini Aku makin tenggelam di dalam lamunanku. Sunyi, sepi, sendiri....

"Dorrr!"

Seorang wanita yang tampaknya sedikit eror mengagetkan lamunanku.

“Hai, kamu lihat Aku kan? Kamu lagi apa?”

Aku mengabaikannya. “Makhluk aneh lagi, di dunia yang seperti ini siapapun bisa berubah bentuk,” gumam ku.

Ia terus mencoba membangun komunikasi denganku, tapi selalu Aku abaikan. Sampai akhirnya dia beranjak pergi. Mungkin ia sadar bahwa Aku bukanlah orang yang tidak asyik, atau mungkin ia berpikir bahwa Aku adalah orang yang bisu, tuli, dan buta. Kini, kepalaku terus bergerak ke kanan dan kiri, seraya menunggu seseorang, juga memeriksa keadaan sekitar. “Mungkin wanita ku tidak akan datang lagi malam ini, dan mungkin wanita yang tadi sudah tidak lagi berada di sini.” Aku kembali termenung.

Lihat selengkapnya