Romansa Dunia Berikutnya

Achmad Afifuddin
Chapter #2

Chapter 2: Komedi Tragis

“Apapun yang terjadi. Aku akan selalu ada untuk kamu.” Vira memulai obrolan dengan kalimat tersebut. Mungkin terdengar klise, tetapi begitulah romansa sepasang yang sedang jatuh cinta. Agak lebay, tetapi terasa manis bagi yang mengalaminya.

Kini kami berdua sedang duduk di meja yang sama, di kafe tempatku bekerja, dan di sela-sela waktu kerjaku. Dia wanita yang telah menemaniku sejak lama. Tak hanya itu, keluarga kami pun sudah saling mengenal. Musabab ayahnya pernah bekerja untuk perusahaan keluargaku, dan dari pertemuan-pertemuan kami, rasa itu perlahan tumbuh.

“Sudah lama sekali kita saling kenal Ra. Dahulu kamu selalu mampir ke kantor sepulang sekolah. Menunggu ayahmu selesai bekerja, dan bersama-sama pulang ke rumah dengan busway.”

Vira mengiyakan.

“Saat itu Aku dan kamu baru saja masuk ke sekolah menengah atas. Aku juga nggak menyangka bisa satu sekolah dengan anak bos ayahku sendiri. Bahkan, kini kita berpacaran, hahaha.”

Aku merespon pernyataannya dengan tertawa.

“Kamu ingat gak Ra? Dahulu Aku suka mentraktir kamu makan bakso di kantin.”

“Iya, hahaha. Padahal Aku mau bayar loh, tapi ternyata sudah ada yang memesan seporsi bakso untukku setiap harinya selama sebulan. Aku jadi agak gemuk!”

“Kangen ya masa-masa itu. Tapi kini Aku nggak bisa berbuat banyak untuk kamu Ra. Bahkan, sekadar snack di kafe ini pun kamu harus bayar sendiri, Aku hanya mampu membyar kopinya saja, hahaha.”

“Aku nggak peduli dengan itu. Lagi pula hidup selalu berubah bukan? Aku yakin, kalau kamu gigih dan mau berusaha, kamu pasti bisa kembali sukses, sesukses ayahmu dulu!”

Dorongan yang diberikan Vira mungkin terasa sepele jika diucapkan dari mulut orang lain. Tapi entah mengapa, Aku melihatnya sebagai wanita cantik yang bijak, serta selalu dapat mengerti kondisi orang lain tanpa menuntut ini dan itu. Hal demikianlah yang membuat Aku tidak bisa berhenti mencintainya.

“Kamu memang cocok jadi motivator!” Sahutku seraya meraih kepala dan mengacak-acak rambutnya.

“Eh, jangan gitu! Ah, jadi berantakan kan!”

Dia merespons dengan penuh keluguan, sikap manja yang selalu ingin dilihat setiap pria atas wanitanya.

....

“Woi! Kenapa senyum-senyum sendiri!” Vian merusak suasana.

“Ga bisa biarin orang bahagia sedikit apa? Hah!?” Aku membentak cukup keras. Kini Vian tampak kembali mengambil jarak, kali ini dia menangis.

“Eh kok nangis? Please gue gak bermaksud, tadi gue hanya terbawa suasana.”

“Aku sedih, pasti kamu lagi mikirin pacar kamu ya. Dia baik-baik aja setelah kamu tinggal?”

“Sepertinya begitu, dan semoga saja demikian.”

“Kalau kamu mau, kenapa nggak kamu lihat langsung saja?”

“Gue gak mau, mungkin gue belum siap. Saat pemakaman gue, ia bahkan sampai pingsan. Gue nggak kuat melihat dia sedih karena kepergian orang yang nggak berguna seperti gue.”

Vian kembali menangis, tetapi ia tetap memaksakan untuk berbicara.

“Ahh, kamu… pasti, pasti sedih kan… kasihan banget…”

“Gausah lebay, ini juga udah hari ke-30, gue sudah mulai terbiasa kok.”

“Tetap saja! Huahh….” Tangisnya semakin pecah, memecah keheningan taman tersebut. Tangisan lebay yang mungkin tidak terdengar di dunia yang nyata, tetapi mengganggu telingaku sebagai sesama hantu.

Jujur saja Aku bingung. Entah bagaimana caranya menyikapi kelakuan orang aneh seperti Vian. Sepanjang 25 tahun hidupku dan 30 hari kematianku, Aku tak pernah menemukan orang atau pun hantu sepertinya.

Kini tangisnya mulai mereda, ia tampak seperti orang yang baru siuman.

"Sudah nangisnya?"

"Sudah."

"Dasar aneh. Pantas saja lo mati tertabrak pick up tahu bulat, kayaknya itu juga salah lo, bukan salah supirnya."

"Kata siapa? Sok tahu!"

Kemudian Vian menjelaskan secara terperinci mengenai lakalantas yang dialaminya. Ia mengoceh tanpa henti selama berpuluh-puluh menit, layaknya kincir bayi yang dipasangkan baterai baru, berisik.

"Emang gila tuh supir tahu bulat! Dia pikir dengan ngebut begitu bisa membuat dia cepat kaya? Hah?"

"Sembrono, bikin nyawa orang menghilang."

Lihat selengkapnya