Hari itu kami kembali ke dermaga. Tiada tempat lain untuk kami berpulang, kami hanya menunggu, menunggu, dan menunggu hingga waktu berpindah alam tiba.
"Kenapa sih kamu suka laut? Jawab yang jujur, jangan cuma karena kamu pisces, klise!" Vian kembali bertanya seraya menginterogasiku.
"Hmm, apa yaa?"
"Mungkin karena warnanya biru, karena gue suka warna biru."
"Tuh kan, ngeselin. Kalau hanya karena warna biru, melihat langit dari rumah juga warnanya biru. Lagipula, ini kan sudah malam, semuanya hitam!"
Jujur saja, sebenarnya Aku enggan menceritakan alasan mengapa Aku menyukai lautan kepada Vian, tapi Aku yakin, jika Aku tidak menjawabnya sekarang, ia pasti akan menagihnya nanti. Oleh karenanya, Aku mencoba untuk menceritakan hal tersebut panjang kali lebar.
"Yakin mau mendengarnya? Ceritanya panjang."
"Yakin! Lagipula kita nggak akan melakukan apa-apa sampai pagi."
"Semasa hidup, gue sering bepergian ke mana-mana, ke gunung, ke hutan, ke kota lain, ke desa-desa, dan ke pantai-pantai, sering sekali. Sekalipun keadaan saat itu sedang sulit, gue tetap memaksakan diri untuk dapat terus berjalan-jalan, ke mana saja."
"Pernah ada suatu momen, saat itu gue sedang bertengkar dengan keluarga, dan gue memutuskan untuk kabur dari rumah. Pada saat itu, gue tidak memiliki tempat pelarian yang jelas, tidak ada satu pun teman juga yang siap menampung di rumah mereka untuk beberapa waktu."
"Gue hanya mengikuti ke mana arah motor gue bergerak, dan ia memilih untuk terus berjalan ke selatan."
Aku menceritakan kepada Vian secara terperinci bagaimana keadaanku selama di jalan. Saat Aku merasa tidak memiliki siapa-siapa untuk tempatku mengadu. "Pertengkaran dengan keluarga saat itu sangatlah hebat, gue seperti tidak memiliki alasan untuk kembali pulang."
"Bukannya kamu telah mengenal Fira? Mengapa kamu tidak mengaduh ke dia?"
"Saat itu kami memang sudah mengenal, tetapi belum sampai kepada hubungan pacar. Lagipula gue nggak mungkin untuk menumpang di rumahnya. Kalau pun kami bertemu, gue yakin hanya akan melampiaskan amarah tersebut ke dia, gue rasa gue butuh waktu untuk sendiri."
Aku terus menceritakan kepada Vian, saat-saat di mana Aku menangis di perjalanan. kehujanan, hingga kelaparan. Aku telah tiba di suatu daerah yang jarang sekali terdapat ATM, pom bensin, atau sekadar minimarket. Saat itu pun sudah malam, penerangan jalan terbatas, dan Aku terjatuh karena tidak melihat tikungan dan masuk ke saluran air dengan kecepatan tinggi.
Aku terbangun dalam kondisi yang lemah, sepertinya beberapa persendianku ada yang bergeser. Di sekeliling, hanya ada tembok reyot, dan tidak ada siapapun di rumah itu. Tubuhku tidak kuasa untuk dapat bangun dengan baik, rasanya seperti sudah tertempel dengan kasur tipis yang lusuh itu. Di sebelahku hanya ada sebungkus nasi, gelas, dan seteko air. Aku memakannya sambil tiduran, sebab Aku tak kuasa menahan lapar. Setelahnya, Aku masih menunggu hingga beberapa jam lagi hingga si pemilik rumah datang. Di masa-masa itu Aku hanya dapat menangisi pertengkaran hari itu. Sesekali, ku perhatikan beberapa luka di tubuhku. Ada yang sudah di perban, dan ada beberapa luka kecil yang terbuka begitu saja.
"Memangnya pertengkaran apa yang terjadi di antara kamu dan keluargamu?" Vian memotong ceritaku.
"Ternyata bokap gue bukanlah ayah kandung. Nyokap menikah lagi saat gue masih kecil, dan memilih untuk menutupinya sampai gue dewasa."
"Kamu tahu darimana?"
"Saat pulang sekolah, terdapat seorang bapak-bapak berseragam ojek online yang datang dan langsung memeluk gue. Dia mengaku kalau gue adalah anaknya. Dia juga pernah mampir ke rumah dan mencari gue, tetapi diusir nyokap. Pada awalnya gue nggak percaya, tapi setelah gue cari tahu, ternyata benar adanya."
"Dari sana lah pertengkaran gue dan keluaga di mulai."
"Oh gitu, lanjut-lanjut!"
"Tadi sampai di mana ya? Lo motong cerita gue sih!"
Kami terdiam sejenak dan mencoba mengingat-ingat ujung cerita terakhir yang disampaikan.