Hari itu Aku dan Vian masih berada di sekitar dermaga. Di antara kami hanya berisikan lamunan setelah lelah bercerita mengenai Abah semalaman.
"Untuk apa Aku menceritakannya ya? Padahal dia bukan siapa-siapa," gumamku.
Sementara itu, matahari semakin meninggi. Para nelayan yang telah berlayar semalam tampak bahu-membahu menaikkan kapalnya ke pinggir pantai.
"Ah, bete! bete! bete!" Vian berteriak memecah suasana. Aku belum menghiraukannya. Mataku hanya tertuju kepada sebuah kapal kecil yang tampak baru bersandar. "Sepertinya itu kapal nelayan terakhir yang sampai pagi ini." Di antara banyaknya kapal yang membawa hasil laut, ku lihat kapal itu lah yang membawa ikan segar paling besar. "Mereka benar-benar panen." Seekor ikan bebuntut kuning seukuran motor kini dikeluarkan dan dipindahkan ke dalam gerobak besar. Di antara nelayan-nelayan itu pun juga meneriaki kapal tersebut dengan bahagia.
"Astaga, itu ikan paling besar yang pernah Aku lihat seumur hidup."
"Oh, bukan, bukan ikan. Itu monster!" Vian menambahkan.
"Memangnya lo masih hidup? Perasaan baru kemarin deh lo dimakamkan."
Vian merespon dengan tertawa kecil. "Ya maaf, Aku masih ga bisa move on dari dunia sebelumnya"
Vian kemudian hendak beranjak.
"Eh lo mau ke mana?"
"Melihat ikan itu."
"Nanti kembali lagi ya. Hari ini kan lo sudah ada janji dengan bapak tua yang kemarin di pemakaman."
"Oke!"
Vian pun pergi mendatangi para nelayan yang sedang mendorong gerobak berisikan ikan monster tersebut. "Akhirnya Aku memiliki waktu untuk sendiri," Aku bersyukur dapat terlepas dari si aneh, walau hanya untuk sementara waktu. Tentunya, Aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk kembali berkontemplasi. Musabab, bagiku kontemplasi merupakan hal penting yang seharusnya menjadi rutinitas sehari-hari.
Udara yang hangat kini semakin memanas. Angin-angin besar dari arah lautan kini tampak seakan-akan ingin menghancurkan pohon-pohon kelapa di tepi pantai. Aku memutuskan beranjak ke sisi lain dermaga, tempat di mana "Kedai Hidangan Laut" berada.
Dalam beberapa waktu, Aku telah sampai di muka kedai tersebut. Di dalam, terlihat sejumlah pengunjung sedang melahap makanan laut dibarengi perbincangan mereka mengenai hari ini.
"Sudah lama sekali kita tidak ke pantai. Di antara wisata pantai itulah, Aku paling merindukan seafood."
"Benar sekali! Di kota, seafood tidak semanis dan sesegar di sini." Respon salah satu di antara mereka.
"Rupanya mereka wisatawan," gumamku. Aku berpendapat, bahwa hidup di kota merupakan sebuah musibah. "Kasihan sekali mereka, pasti mereka baru kembali ke pantai setelah mendapatkan liburan panjang. Sementara itu, di hari-hari biasa mereka disibukkan dengan pekerjaan yang membosankan."
....
"Woy! Lapar yaa?" Vian memergoki.
"Mengagetkan saja!"
"Dicari ke dermaga tidak ada, rupanya sedang melihat hidangan laut di sini. Tadi itu ya, ikannya...." Vian terhenti. Kami berdua terbelalak. Tampak bapak yang sewaktu itu ku lihat sedang memperbaiki kapal menggendong kepala ikan monster tersebut.
"Astaga!" Para pengunjung kedai tersebut juga terbelalak melihat apa yang dibawanya.
"Ini hasil tangkapan pagi ini," sahutnya.
"Kepalanya saja sebesar koper, bagaimana dengan tubuhnya?" Tanya salah satu pengunjung.
"Di sini sudah biasa mendapat tangkapan yang besar-besar. Hanya saja akhir-akhir ini jarang sekali kami dapatkan. Biasanya tangkapan sebesar ini langsung habis dibeli oleh orang-orang kota."
"Kepala ikan sebesar itu akan diolah menjadi apa?" Tanya yang lainnya.
"Bermacam-macam. Terkadang, bagian kepala ini akan dijadikan sup. Akan tetapi, bagian rahang ikan biasanya hanya akan dibakar dengan bumbu khusus, dan bagian itu lah yang paling istimewa."
Mendengar hal tersebut, beberapa orang di kedai itu langsung berebut untuk memesannya tanpa berpikir dua kali.
"Mohon maaf, untuk menu tersebut hanya dapat dijadikan dua porsi. Mengingat bahwa stok kepala ikan sebesar ini yang sangat terbatas. Akan tetapi, dalam setiap porsinya biasa dihabiskan dua sampai tiga orang."