Jalan masuk yang lenggang menunjukkan bahwa hanya ada sedikit aktivitas di kampus hari itu. Kendaraan yang biasanya belalu lalang tampak tidak terlihat. Hanya ada satu-dua orang petugas kebersihan yang tampaknya sudah bersiap pulang karena hari kian temaram.
"Kamu pernah berkuliah di sini?"
"Iya."
"Ini kan kampus favorit, berarti kamu pintar dong!"
"Tidak juga. Lagipula gue nggak kuliah sampai lulus."
"Kenapa? Di DO ya?"
"Ya enggak lah! Emangnya gue mahasiswa macam apa sampai di DO?"
"Lah terus? Memangnya ada orang yang mau keluar sendiri dari kampus bergengsi? Kalau pun keluar pasti karena di DO!"
"Sok tahu!" Jawabku ketus.
Kini kami menyusuri jalan di komplek universitas. Kami menuju ke sebuah fakultas yang terletak tidak jauh dari pintu masuk, tetapi akan memakan waktu jika dilakukan dengan berjalan kaki.
"Untungnya kita sudah mati. Kalau manusia normal yang berjalan kaki, pastinya akan memakan waktu."
Vian tersenyum kecil.
Di depan sebuah bangunan berlabel "Fakultas Hukum" Aku memberhentikan langkah. Mengenang sekilas berbagai peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu, saat Aku masih menjadi mahasiswa di sini.
"Kita ke dalam?" Tanya Vian.
"Iya, di gedung belakang. Kita akan memotong jalan menuju perpustakaan pusat."
Kini kami tiba di lantai dasar perpustakaan pusat, tepat saat gelap sudah hampir menguasai langit. Tampak sebuah lift di ujung ruangan yang sepertinya sudah dimatikan. "Kita naik tangga saja, sebab biasanya dia berpindah-pindah lantai, sehingga kita harus memeriksanya lantai demi lantai."
Segera kami susuri anak tangga, memeriksa lantai demi lantai yang dihiasi oleh banyak ruang. Lorong-lorong sepi berisikan meja dan kursi kosong tampak tak menunjukkan tanda-tanda apapun. Di lorong lain, kami hanya menemukan koridor-koridor yang dikelilingi buku, juga beberapa komputer di sisi yang satunya.
"Ish, kok gak ketemu-ketemu! Kamu mencari siapa sih!?"
"Teman." Jawabku singkat.
"Teman?"
"Lebih tepatnya kakak tingkat. Dia juga sudah mati, tapi belum lama ini gue bertemu kembali dengannya di sini, dan seharusnya ia masih di sini."
"Untuk apa?"
"Katanya lo ingin tahu banyak hal tentang dunia baru ini? Jadi gak?"
"Hehe, iya."
Di sela-sela percakapan, datanglah seseorang dengan menggunakan jubah hitam panjang. Ia tampak membawa beberapa buku sains dan sebuah kotak.
"Hei Malik!"
Rupanya dia adalah Terrence, kakak tingkatku yang ingin kami temui. Penampilan Terrence yang bak orang super cerdas membuat Vian tidak dapat berkata apa-apa.