Romansa Dunia Berikutnya

Achmad Afifuddin
Chapter #7

Chapter 7: Bulan Purnama

Kini matahari semakin berani menunjukkan diri. Sebidang lahan di tepi danau tempat kami berdua duduk mulai dihiasi oleh aktivitas makhluk hidup. Di antara mereka ada yang berkumpul dan berbincang mengenai kelas yang akan dijalaninya siang nanti. Sementara yang lainnya tampak duduk berpasang-pasangan. Sudah tentu mereka adalah dua insan yang saling berpacaran. Beberapa yang lainnya tampak berlalu lalang. Entah dengan berlari atau pun mengayuh sepeda. Di antara hiruk pikuk kampus di pagi hari, kami berdua masih terdiam. Vian yang biasanya berisik tampaknya disibukkan dengan kenyataan yang ia temukan semalam.

“Mau terus di sini?”

“Nggak tahu ah, pusing!”

Vian menundukkan pandangannya. Ia menunjukkan sisi keengganannya dalam bertahan hidup di alam baru ini.

“Tidak usah terlalu dipikirkan.”

“Memangnya kamu nggak memikirkannya? Kamu mau di alam ini terus?”

“Terkadang. Tapi lebih banyak gue abaikan. Lagi juga kalau dipikirkan terus bukannya tidak baik?”

Vian masih menundukkan pandangannya, seraya melindungi wajahnya dari terik matahari.

“Mau pindah ke mana?”

“Entahlah. Sepertinya dermaga adalah pilihan yang tepat. Gue juga sudah lama tidak melihat laut.”

“Sudah ku tebak, pasti dermaga.”

Sekalipun Vian tidak terlalu menyukai saranku, tetapi dia tidak bisa berhenti mengikutiku. Lagipula, arwah seperti kami tidak punya kesibukan apapun. Kami hanya bermalas-malasan, menunggu permasalahan dunia kami terpecahkan, atau mungkin bertahan hingga kiamat tiba.

Kali ini Aku mengajak Vian untuk pergi ke dermaga menggunakan transportasi umum. Lagi, kami punya banyak waktu, jadi harus kami habiskan dengan kegiatan-kegiatan yang membuang waktu. Mungki jika kami terbang begitu saja, kami akan tiba di pantai dalam hitungan menit. Namun, dengan transportasi umum, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai dermaga menjadi berjam-jam. Sebab, kami harus beberapa kali berganti transportasi. Di mulai dai kereta metro, busway, hingga menggunakan angkot. Jujur saja, terkadang Aku mensyukuri kecepatan kami, para arwah yang terbang begitu saja untuk bisa sampai ke suatu tempat. Namun, rasanya sia-sia saja. Kami punya banyak waktu di sini, “Lantas, mengapa anugerah tersebut tidak diberikan di dunia saja? Kami tidak perlu repot berpindah transportasi, membayar tiket, atau pun menunggu perjalanan dengan waktu tempuh yang sangat lama hanya untuk pergi ke kantor di pusat kota."

Setelah berjam-jam dihabiskan untuk menggunakan transportasi umum, akhirnya angkot yang membawa kami tiba di depan pintu dermaga. Itu pun tidak langsung sampai dermaga. Kami harus berjalan kaki lagi demi menyusuri pantai yang cukup panjang.

“Seharusnya kita sudah sampai sejak tadi.”

“Tidak mengapa, sesekali seperti manusia normal.”

“Hmm, iya sih, tapi ini sudah sore!”

“Baguslah. Kita tidak perlu menunggu lama untuk melihat matahari terbenam.”

Aku dan Vian segera mengambil posisi duduk kami di ujung dermaga, seperti biasanya. Dari sana kami bisa melihat aktivitas di pantai. Pemandangan hari itu dihiasi oleh para wisatawan yang bersiap-siap kembali setelah bus jemputannya tiba. Sementara itu, para nelayan tampak mulai mempersiapkan alat pancing, serta kapalnya. Di ufuk barat, burung-burung laut ramai beterbangan seraya menjemput sinar oranye keemasan yang tampak mulai memakan langit biru. Matahari belum juga tenggelam, tetapi langit sudah dihiasi oleh bulan yang tampak tidak ragu menunjukkan bentuknya.

“Malam ini laut akan pasang.”

“Kok bisa tahu?”

“Lihat saja patok berwarna merah itu, sudah hampir tergenangi air. Bulannya juga penuh, sepertinya malam ini akan fullmoon

“Auuu!” Vian menirukan suara serigala.

“Loh, kenapa? Aneh!”

Lihat selengkapnya