Romansa Dunia Berikutnya

Achmad Afifuddin
Chapter #8

Chapter 8: Kabar Duka

Sudah hampir semalaman Malik dan Vian berdiam diri di ujung dermaga. Tidak ada pembicaraan yang nampak begitu berarti di antara keduanya. Sementara Malik disibukkan dengan renungannya, Vian mulai merasa bosan dan hendak pergi berkeliling.

“Kamu nggak ke mana-mana kan?”

“Iya. Takut banget ditinggal.”

“Hehe. Aku mau keliling ya.”

Malik mengangguk.

Vian bergegas pergi. Kali ini ia mengambil arah yang berlawanan dari Kedai Hidangan Laut. Rasa penasarannya akan hutan bakau di sisi pantai yang lain benar-benar telah mengalahkan rasa takutnya. “Lagipula Aku sendiri sudah mati. Apa yang perlu ditakuti? Hantu?” Vian semakin memberanikan diri untuk masuk ke dalam hutan bakau. Dalam beberapa langkah, pandangannya terhadap dermaga kini sudah dihalangi oleh pepohonan bakau yang lebat.

Sebenarnya, ia juga tidak cukup berani untuk pergi sendirian. Apalagi, jika daerah yang dikunjunginya masih tampak asing, gelap, serta menyeramkan. Sesekali. Ia masih menengok ke belakang dan sekelilingnya untuk memastikan keadaan sekitar. Saat ini, Vian telah berada di tengah hutan bakau. Meskipun tidak terlalu luas, butuh usaha yang besar untuk memasuki hutan tersebut. Mengingat, bahwa jarak di antara bakau cukup berdekatan, serta akar-cakar pohon yang terkadang menyembul keluar dan menghalangi jalan. Belum lagi, kontur berpasir dan berair menjadikannya semakin sulit untuk dilalui.

“Bagaimana caranya terbang di tempat sesempit ini sih? Susah sekali kalau begini!”

Di antara keluh kesah Vian. Ia dikagetkan dengan bayang-bayang yang samar di kejauhan. Awalnya, ia melihat itu sebagai sosok yang sedang bersantai di ranting pohon. Namun, semakin ia dekati, semakin jelas pula sosok tersebut. Rupanya, ia adalah seorang wanita yang tampak sedang mempersiapkan sebuah ikatan di ranting tersebut. Vian hanya mengamatinya.

Tak diduga-duga, rupanya wanita tersebut mengikatkan lehernya ke ikatan yang terhubung di ranting. “Berhenti!” Vian mencoba mencegahnya, tetapi terlambat. Wanita tersebut sudah menggantung dengan kondisi leher yang patah. Tampaknya ia telah mati. Sementara, Vian hanya terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.

Di keadaan yang kacau tersebut, tiba-tiba saja si wanita kembali turun dari talinya, lalu mencoba memperbaiki ikatan di ranting. “Sepertinya belum cukup kuat.” Vian terkejut. Ia tampak belum bisa melogikakan apa yang sedang terjadi.

“Aku tahu kamu telah memerhatikanku sejak tadi. Kemarilah.”

Vian semakin terkejut. Ia menelan ludahnya cukup banyak.

“Tidak usah khawatir. Siapa namamu?”

“Vi...Vian...Vivian, kak.”

“Oh, Vivian. Baru mati ya?”

“Baru, baru beberapa hari yang lalu kak.” Vian masih menjawabnya dengan terputus-putus.

“Pantas saja. Kemarilah jika kamu penasaran.”

Vian memberanikan dirinya untuk mendekat. Kini ia melihat wajah dari sosok tersebut, jelas sekali.

“Cantik banget! Kakak bule ya?”

Wanita tersebut tentunya juga terkejut dengan perubahan sikap Vian yang serba mendadak.

“Iya.”

“Asal mana kak?”

Daddy-ku orang Belanda, tetapi ibuku pribumi.”

“Pantas saja cantik begini.”

“Terima kasih. Mengapa kamu di sini?”

“Penasaran saja kak. Ingin melihat-lihat sekitar.”

“Oh. Kamu mati kenapa?”

“Di tabrak mobil tahu bulat kak.”

“Tahu bulat?”

“Semacam mobil bak kak. Mobil pick up yang untuk mengangkut barang. Hanya saja digunakan untuk berjualan tahu bulat.”

“Oh, aneh juga ya kendaraan zaman sekarang.”

Vian mencoba menerka-nerka ucapan wanita tersebut. Ia juga menganalisis pakaian dan caranya berbicara.

“Kakak dari zaman kolonial ya?”

Lihat selengkapnya