Matahari baru beberapa waktu muncul. Sementara, Vian masih mencoba mengelola kesedihannya akan kejadian pagi tadi. Sepertinya ia baru sekali ini melihat kematian yang tragis. Padahal, kalau dipikir-pikir, kematiannya sendiri juga tragis. Bagaimana tidak? Di saat orang-orang lain mati karena sakit atau pun usia yang tua, ia justru mati karena tertabrak mobil tahu bulat! Akan tetapi, terkadang memang kita kerap tidak menyadari akan duka diri sendiri. Justru, tubuh ini bisa tertampar sewaktu-waktu karena menyaksikan peristiwa yang menimpa orang lain.
Melihat kondisi Vian yang sepertinya tidak ingin diganggu. Aku memutuskan untuk melipir sedikit dari dermaga. Kini, pandanganku terarah kepada lautan luas, yang mana salah satu sisinya berhiaskan dermaga dan Vian di kejauhan, tentunya.
“Jarang sekali Aku bisa sendirian seperti ini. Biasanya, si aneh itu selalu mengikuti,” gumamku.
Seberkas cahaya yang menyeruak di antara awan-awan pagi itu tampaknya memilih mendarat tepat di wajah Vian. Pada awalnya, Aku hanya menertawainya dari kejauhan. Ada banyak tempat yang luas di dermaga dan pantai, tetapi mengapa cahaya tersebut memilih jatuh ke wajahnya?
Kendatipun demikian, mataku justru semakin terfokus pada wajahnya yang sedikit layu. Memang samar dari kejauhan, tetapi terlihat jelas akan perasaannya yang sedang dirundung duka.
“Sebenarnya, Vian itu cantik. Perilakunya saja yang aneh di awal. Akan tetapi, orang-orang disekitarnya pasti akan segera terbiasa.”
Aku memperhatikannya cukup lama, hingga terbesit wajah pacarku sendiri, Fira. Tidak ingin berlama-lama terlena, lebih baik waktu senggang nan sendirian tersebut Aku gunakan untuk berkontemplasi. Segera kulipat kedua kaki, memasang postur tubuh yang tegap, tetapi rileks, serta memejamkan mata dan mengatur sirkulasi udara melalui pernapasan diafragma. “Ah, sebuah kondisi yang tidak selalu bisa didapatkan.”
Di sela-sela kontemplasi tersebut, tentunya juga terlintas satu-dua peristiwa yang tampaknya sukar Aku lupakan. Di mulai dari kenangan dengan ibuku, ayah tiriku, hingga kepada momen pertemuanku dengan ayah kandungku. Tak lupa, kenangan akan Abah juga selalu teringat di sela-sela kontemplasiku. Lalu, muncullah kenanganku bersama Fira. Saat-saat di mana kami baru pertama kali mengenal, hingga pertemuan terakhirku dengannya sebelum Aku memutuskan untuk gantung diri.
“29 Juli! Esok adalah 29 Juli!”
Seketika Aku mengingat momen di mana Aku dan Fira memutuskan untuk berpacaran. Aku ingat detailnya, termasuk waktu, tempat, hingga apa-apa saja yang kami bicarakan saat itu.
Tak berselang lama, Aku membuka mata dan keluar dari kontemplasi yang cukup memakan waktu itu. Hari semakin siang, sedangkan Vian masih asyik menikmati kesendirian nya di ujung dermaga. Ku pikir, dia akan bunuh diri dan mati dua kali apabila kubiarkan dirinya begitu saja. Oleh karenanya, Aku bergegas menghampiri Vian.
“Ya ampun, asyik banget sih!”
“Asyik apanya! Gak lihat orang lain lagi sedih ya!?” Ucap Vian dengan wajah yang penuh dengan air mata kering.
Kini Aku telah mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya, dekat sekali.
“Iya, iya. Tapi harus bagaimana lagi? Kematian itu kan bukan sesuatu yang dapat ditunda.”
“Huh, sok bijak! Sendirinya saja mati disengaja. Padahal kan masih dapat ditunda!”
Aku sedikit kikuk mendengar pernyataannya. Akan tetapi, Aku mencoba menahannya. Sepertinya, memarahinya hanya akan memperburuk suasana.
“Hehe, iya juga ya. Iya, tapi kan beda kasus Vi.”
Vian hanya terdiam, matanya terfokus ke arah lautan lepas.
“Lalu mau di sini terus?” Tanyaku.
“Memangnya kamu mau ke mana? Biasanya juga kamu yang ngajak Aku ke sini.”
“Iya. Tapi tidak harus di sini berhari-hari kan? Bagaimana kalau kita mencari tempat lain?”
“Kemana?”
“Pokoknya seru!”
Sebenarnya, Aku ingin menceritakan akan pentingnya hari esok kepada Vian. Namun, sepertinya saat ini bukanlah waktu yang tepat. Aku harus memutar otak. Bagaimana pun caranya, Vian harus kembali ke setelan pabrik.
Salah satu ide yang muncul di kepalaku adalah mengajaknya ke rumah hantu. Kebetulan, di siang bolong begini biasanya ada beberapa rumah hantu yang buka. Seingatku, ada satu rumah hantu yang cukup terkenal di wilayah Jatinegara. Ku pikir, rumah hantu tersebut sepertinya masih cukup eksis, sehingga masih buka hingga saat ini. Oleh karenanya, Aku berencana untuk mengajak Vian ke sana. Setidaknya, ia bisa sedikit melupakan kejadian pagi ini.
....
Tak lama berselang, kami telah tiba di depan sebuah bangunan yang tampak kosong dan tidak terawat. Sementara itu, Vian memasang wajah kebingungan.
“Ini tempat apa sih?”
“Tempat hiburan.”
“Hiburan apanya? Ini tampaknya angker.”
“Atau jangan-jangan, kamu mau menyuruhku untuk gentayangan di sini!?” Tambah Vian.
“Enggak, enggak. Bukan begitu, tapi...”