Wahana rumah hantu itu tampaknya akan tutup untuk beberapa waktu. Sementara Aku dan Vian masih berupaya untuk mencari jalan keluar dari tempat tersebut. Vian memasang wajah tegang. Ia berjalan seraya memasang kuda-kuda dan bersiap untuk menyerang jika sewaktu-waktu ada hal yang membuatnya takut.
“Santai saja sih. Kalau sedang ada pengunjung yang kesurupan atau pingsan, wahananya akan diberhentikan untuk beberapa waktu. Bahkan, bisa sampai satu atau dua jam.”
“Antisipasi.” Jawab Vian singkat. Tampaknya, ia sedikit menyimpan dendam karena kejadian tadi.
Kami terus berjalan di antara lorong-lorong tersebut, berupaya menemukan pintu keluar.
“Ini di mana sih pintu keluarnya? Dari tadi tidak ketemu-ketemu juga! Ga bisa langsung keluar saja gitu?”
“Ga bisa. Arwah nggak bisa menembus semua materi, terkecuali materi-materi yang telah diubah menjadi pintu masuk fasilitas umum.”
“Maksudnya?”
“Ingat nggak waktu lo registrasi masuk di pemakaman? Kita bisa menembus pohon itu kan? Itu karena di pohon itu telah diubah menjadi kantor administrasi pemakaman.”
“Berarti kalau materi-materi biasa yang nggak dijadiin fasilitas umum itu nggak bisa ditembus dong?”
“Nggak bisa.”
“Lalu bagaimana kita dapat mengetahui bahwa materi-materi tertentu adalah fasilitas umum atau bukan?”
“Gampang. Caranya itu, kamu tinggal....”
“Itu tulisan exit!” Vian memotong.
Tampaknya ia kegirangan telah menemukan pintu keluar dari wahana ini. Kami pun bergegas untuk menyusuri lorong tersebut. Sementara itu, Vian tetap berjalan dengan memasang kuda-kuda seraya bersiap menyerang apapun yang ada di depannya.
Pintu exit bermandikan cahaya hijau semakin dekat, hanya sekitar sepuluh meter lagi. Namun, tiba-tiba muncul seorang badut yang menghadang kami dari jarak yang sangat dekat.
“Dorrr!!!” Teriak si badut.
Tanpa di duga-duga, Vian yang telah memasang kuda-kuda menyerang mendaratkan pukulannya ke wajah si badut, keras sekali.
“Mati lo bangsat!” Teriaknya kesal.
“Aduh!”
Badut tersebut terkapar kesakitan. Sementara kami terkejut dengan kejadian tersebut.
“Kok bisa nembus sih... berdarah lagi, huhuhu.” Badut tersebut meringis kesakitan
“Malik. Kok bisa kena pukul sih? Bukannya dia manusia ya?”
Aku mencoba menyentuh badut itu, dan rupanya ia tersentuh dengan inderaku. Aku pun bergegas membangunkannya. Badut tersebut tampak memegang hidungnya yang berdarah. Aku dan Vian membawa badut tersebut keluar melalui pintu exit. Kami segera membaringkannya di halaman samping gedung yang tampak cukup teduh. Tak berselang lama dari evakuasi, pendarahan di hidungnya mulai berhenti.
“Untung saja tidak patah.”
“Maaf pak, maaf banget tadi Vivian nggak sengaja.” Vian tertunduk.
“Pantas saja. Saya kira kalian pengunjung.”
“Pengunjung?”
“Maksudnya pengunjung hidup. Ternyata kita memang satu alam.”
“Bapak juga sudah mati?”
“Iya.”
“Lalu kenapa bisa ada di rumah hantu itu?” Tanya Vian.
“Semasa hidup. Saya memang berprofesi sebagai badut rumah hantu ini. Setelah mati, saya bingung harus ke mana. Jadi saya ke sini saja, hitung-hitung membantu teman-teman seprofesi yang masih hidup.”
“Padahal saya sudah libur dua hari loh untuk memperbesar energi kemunculan saya ke alam dunia. Sekarang malahan kena pukul pengunjung.” tambahnya
“Maksudnya pak?” Tanya Vian.
Badut tersebut menjelaskan secara panjang lebar tentang energi kemunculan yang sudah dikumpulkannya selama dua hari. Rupa-rupanya energi kemunculan tersebut berguna untuk membuatnya terlihat di alam dunia. Tujuannya adalah agar pengunjung-pengunjung yang masih hidup dapat melihat penampakannya.
“Tapi saya bingung. Kok pukulan kamu masih kena ke saya, padahal kan saya sudah beralih alam dengan energi tersebut.”
Vian tampak tidak mengerti. Aku mencoba menjelaskan.
“Tadi dia sedang ketakutan pak. Barangkali energi takutnya itu terlampau besar, sehingga juga membuatnya tidak sengaja berpindah alam saat tidak sengaja memukul bapak.”
Sebenarnya, kami masih penasaran. Mengapa badut tersebut belum beralih ke alam berikutnya dan memilih untuk terus menjalankan profesi semasa ia hidup. Namun, Aku dan Vian enggan untuk menanyakannya.
“Oh iya, kita belum berkenalan. Nama saya Subakti. Panggil saja Pak Bakti.”
“Hehehe, iya pak. Saya Malik, dan dia Vian.” Kami saling berjabat tangan.
“Jarang sekali ada pengunjung satu alam yang mampir ke sini. Kalian sedang riset untuk gentayangan ya? Punya dendam?”
“Enggak, enggak pak. Kita hanya ingin menghabiskan waktu saja.”
“Oala, kirain ingin belajar gentayangan untuk balas dendam. Kalau iya, bisa saya ajari.”
“Belum pak, hehe.” Sahutku.