“Bip... bip...bip,” cincinku berbunyi dan mengeluarkan cahaya merah berkedip. Sementara Vian menyadari bunyi tersebut seraya mencarinya di sekitarku.
“Nih!” Aku menyodorkan jari dengan cincin yang berkedip.
“Keren! Tapi kok suaranya seperti suara alat pemanggil costumer di kafe ya?”
“Beda, norak!”
“Terus untuk apa?”
“Buat memanggil arwah!”
Vian tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon dari bibirku.
Sudahlah, ku rasa Fira tidak akan datang ke sini. Sebaiknya Aku bergegas ke pemakaman untuk menjawab panggilan dari cincin tersebut. Tentu saja makhluk aneh itu selalu saja mengikutiku ke mana pun Aku akan pergi. “Aku mau melihat pemakaman Malik. Paling sudah tidak terawat.” Tuturnya seraya meledekku. Tidak perlu ku gubris. Nanti juga dia akan terheran-heran dengan pemakamanku.
Kami segera bergegas pergi meninggalkan taman tersebut. Tentu saja, Aku dan Vivian memutuskan untuk terbang ke sana. Jika harus naik transportasi umum itu akan memakan waktu. Lebih parahnya, cincin ini akan semakin berisik tidak karuan.
Dalam beberapa waktu kami sudah tiba di depan pemakaman. Sebuah pemakaman megah yang membuat Vivian terdiam tanpa respon apapun.
“Ayo masuk.” Vian masih tidak merespons.
“Oy.” Aku masih berupaya menyadarkannya.
“Vivian! Lo tuli ya!?”
“Hah, apa? Maaf tadi Aku….”
“Masih mau geledek makam gue lagi?”
“Hehe. Ini… ini beneran pemakaman?”
“Memangnya?”
“Aku kira ini tanah yang sudah di kavling-kavling untuk dibuat perumahan atau real estate.”
“Jangan norak deh. Cincinnya semakin berisik, ayo masuk!”
Kami baru saja melewati sebuah gardu yang besar. Vian masih termegap-megap karena melihat pilar-pilar besar di pintu masuknya. Kini, di sebelah kanan dan kiri kami hanya terdapat pepohonan padat yang membentuk sebuah terowongan. Tidak cukup panjang, di ujung terowongan tersebut sudah terlihat perbukitan-perbukitan yang tampak asri. Vian masih saja terkagum-kagum dengan kompleks pemakaman tersebut.
“Bangunan di sebelah sana itu apa?”
“Tempat penyimpanan abu jenazah.”
“Hah? Mau ke sana!” Dia merengek.
Tentunya Aku bersikeras untuk menyelesaikan urusanku di kantor pemakaman. Suara cincin tersebut benar-benar menggangguku. Apalah daya, Vian hanya bisa mengikuti, padahal dia terlihat sangat ingin berkeliling pemakaman. Dirinya takut kalau tiba-tiba diusir oleh penjaga makam karena ia bukan domisili sini.
“Pemakamanmu sebelah mana?”
“Di balik bukit itu.” Aku menunjuk ke arah pukul dua siang dari pintu kami masuk.
“Ujung banget.”
“Ujung pemakaman itu masih jauh lagi. Setelah lo melewati bukit itu, masih ada tiga bukit tersisa di baliknya.”
“Wow.”
Vian tampak semakin kagum. Matanya sampai berbinar-binar.
Setelah melalui puluhan makam dan tanah-tanah kosong yang telah diberi patok, kami berdua telah tiba di puncak bukit pertama. Di sana sudah ada seorang penjaga makam dengan pakaian rapih bak seorang pegawai kantoran di gedung-gedung pencakar langit.
“Selamat sore tuan….” Belum selesai ia menyapaku, Aku sudah berlari meninggalkannya. Aku menuruni bukit dengan terbirit-birit hingga tidak sengaja menginjak beberapa makam. Rupa-rupanya Fira ada di sana.
….
Aku dan Vian hanya melihat Fira dari kejauhan. Kakiku gontai karena harus kembali melihat dirinya ada di pemakamanku, tepat di hari jadian kami. Sementara itu, Fira terlihat meratapi pemakamanku. Tak jarang juga ia menyentuh nisan tersebut. Sampai beberapa waktu, kami baru menyadari bahwa Fira menangis. Ia berbicara pelan, sampai-sampai kami tidak bisa mendengarkannya. Bukan hanya itu, artikulasinya terganggu oleh tangisan, sehingga Aku dan Vian benar-benar tidak mengetahui apa yang Fira ucapkan.
Kesedihan Fira perlahan menular kepadaku. Aku yakin bahwa ia menangis untukku. Bagaimana tidak? Ia menangis di pemakamanku, di hari jadian kami, bahkan sampai mengelus-elus batu nisanku, pastinya ia menangis untukku, sehingga Aku pun mulai terpancing untuk menangis.
“Huaaa!!!”
Tangisan Vian yang besar, lebay, dan amat tiba-tiba itu benar-benar membuatku benar-benar tidak berselera untuk menangis. Pikirku, “stres nih anak.”