Bilamana kita menapaki masa remaja. Tak kunjung sampai ke sebuah titik pola pikir yang matang. Kosa kata ini muncul bak matahari terbit di ufuk timur. Amat menawan. Menjanjikan harapan dan janji masa depan cemerlang.
Kala kita sekali saja memandang. Tak kunjung bosan dan enggan sekali untuk memalingkan diri sejenak. Saat itulah kita berada dalam dimensi yang statistika teratur tak lagi tampak. Konfigurasi tanpa objek dan sasaran. Membumihanguskan nalar dan kelogisan. Hingga tak sadar saat teriknya mulai terasa. Mengambil alih kesadaran. Dengan durasi waktu yang tidak sedikit. Kurun waktu jangka panjang. Boleh jadi takkan pernah sadar. Begitu bengis dan biadabnya. Ialah "cinta".
Lain halnya jika kita lebih bijak memilah dan mengatur secara akurat, menuju matahari yang agaknya condong di ufuk barat. Hingga kita lebih dari sekedar takjub. Memandangnya adalah ketenangan. Menghapus penat tak terperikan. Sajian tepat menuju malam yang panjang. Mengalihkan luka yang mendalam. Pun sama, lagi-lagi "cinta".
Masa dimana seorang remaja tanggung begitu ingin tahu dengan satu kata yang seolah datang dari negeri antah-berantah. Mencetuskan isyarat bujuk rayu. Serta merta bilangan-bilangan tak terbilang. Yang nantinya menyematkan imajinasi tak pasti. Pengandaian tak terhenti. Tak apalah. Biarkan cerita ini mengalun anggun dalam aliran alam sadar kita. Selagi kita masih bisa mengingatnya tanpa perlu pengandaian untuk kedua kalinya.
* * * * * * * * * *
"Apa cuma segini?!" ucap pelajar bertubuh gempal seraya mencekram kerah baju seorang yang amat mengenaskan kondisinya.
Kawan-kawannya sibuk memperhatikan sekitar dengan seksama. Cemas jika ada yang melihat tindakan bedebah mereka. Sesekali mereka tertawa mengejek.
"Aku ... sudah ... berusaha maksimal!" ucap lelaki itu dengan banyak luka lebam di pipinya. Pelipisnya sedikit berdarah.
"Ayolah kawan, kau kan murid paling pintar di kelas. Jadi ....," ucap pelajar gempal itu dengan seringai licik miliknya.
Tak segan dia robek kertas jawaban tersebut. Sungguh tak berperasaan. Di depan murid lemah yang tak berdaya itu. Ia taburkan serpihan bekas kertas berisikan jawaban yang sudah dibuat susah payah. Tak puas demikian, ia tarik kuat kerah bajunya.
"Ingat, Dean! Besok lusa semuanya harus sudah beres. Tak perlu lagi kuterima alasan konyolmu itu. Paham?!"
Lelaki itu hanya mengangguk lemah. Tidak. Dia tak akan pernah menangis hanya karena hal sepele ini. Neneknya dulu selalu mendidiknya dengan sapu rotan. Bahkan dia terbiasa diperintah. Menangis hanya akan memperburuk keadaan. Tak akan menyelesaikan. Apalagi saat ini ia sudah duduk di bangku SMA.
"Cih ....," gerutunya saat merapikan seragamnya yang kusut masai, sembari merapikan isi tasnya yang berhamburan.
Tak terasa hampir satu bulan lagi menuju Ujian Akhir Semester dua kelas XI. Mereka harus belajar dengan giat agar bisa mendulang nilai supaya tetap stabil. Alangkah baiknya jika naik secara konsisten.
Lolos SNMPTN di universitas favorit menjadi mimpi indah bagi semua murid SMA. Lain halnya dengan Dean. Dia sama sekali tak tertarik masuk universitas ternama sekalipun. Meski orangtuanya menuntut dirinya untuk lolos dengan jalur undangan. Memang nilainya saat ini baik-baik saja.
Tapi tekanan di keluarganya sungguh amat luar biasa. Sebab Dean terkenal sebagai anak dari keluarga dokter yang hebat. Ayahnya seorang dokter spesialis penyakit dalam yang cukup handal di salah satu rumah sakit ternama. Ibunya pun akhir pekan lalu diangkat menjadi kepala badan penelitian dan pengembangan kesehatan.