Ketahuilah kawan, bahwa apa yang kau anggap indah belum tentu demikian kenyataannya. Mungkin Dean mengganggap pertanyaan murid perempuan tersebut adalah hal spesial yang tuhan berikan buatnya. Pasalnya ia tak pernah sedikit pun tahu. Bahwa dirinya sendiri tak ada bedanya dengan bilangan imajiner.
Kalian pernah mendengarnya? Sesuai namanya. Bilangan tersebut dijuluki demikian oleh Descartes karena bilangan imajiner hanya bisa dibayangkan. Bahkan wujudnya, terutama posisi di dalam Diagram Cartesius tidak diketahui.
Konon katanya, sang penemu bilangan ini, Girolamo Cardano pernah membuat manuskrip tentang Horoskop bagi Yesus Kristus. Bayangkan itu! Dia mencoba menganalogikan bintang-bintang untuk meramal kehidupan Tuhan. Maka hebat betul pasti imajinasinya, bukan? Tak salah bilangan tersebut bernama demikian.
Maka sama halnya bagi diri Dean. Bedanya ia tidak sehebat Cardano yang mengkhayal kehidupan tuhan. Remaja tanggung tersebut hanya berimajinasi penuh pengandaian serta khalayan terhadap seorang perempuan yang melontarkan pertanyaan wajar dan sederhana. Sungguh jauh dari kata romantis.
Tak usah pula sebut namanya. Karena Dean sendiri pun hanya terbengong diam dibuatnya. Gugup menanyakan nama. Lupa akan sakit perutnya. Kasihan sekali bukan? Karena ini hanyalah cinta satu sisi. Dimana sisi lain tak terkoneksi. Sebab korelasi antar mereka tak pernah sekalipun terjadi. Jadilah Dean, cinta yang bertepuk sebelah tangan.
* * * * * * * * * *
"Habis kesambet apa, sih?" Bagas tiba-tiba membuyarkan lamunan imajiner Dean.
"Hah?? T-tidak, bu-bukan apa-apa," tergagap-gagap Dean menjawabnya. Macam orang linglung. Sedikit takut oleh Bagas yang menatap tajam ke arahnya.
"Bagaimana tadi sidangnya?" Dean berusaha mengalihkan pikiran Bagas yang langsung menarik nafas dalam-dalam.
"Huft ... Melelahkan, mereka mencoba membela diri mereka yang jelas-jelas bersalah. Emosi aku dibuatnya." Bagas tampak muram dan tak biasanya dia merasa tertekan seperti itu.
Tadinya sewaktu sidang di kantor kepala sekolah, ia sudah menuntut dan menguasai kondisi. Namun beberapa guru mempertimbangkan untuk berusaha memaklumi perbuatan tersebut dengan alasan masih bisa diperbaiki.
"De, gimana seandainya mereka keluar dari sekolah ini? Apakah kau merasa senang?" tanya Bagas menatap Dean yang masih bingung terhadap sidang tersebut.
Ada sedikit rasa kasihan terhadap sahabatnya yang satu ini. Selalu sabar menghadapi gangguan Pandu dan komplotannya.
"Memangnya kenapa?" Dean bertanya dengan dahi berkerut.
"Kau ... Benci mereka, kan?" Bagas masih menatap lekat sahabatnya tersebut.
"Aku ... Sebenarnya lelah diperlakukan seperti ini, Gas. Tapi aku terlalu lemah untuk bisa jadi seperti kau. Keberanianku hanya sebatas memaafkan saja. Emosiku terus terpendam. Aku tidak pernah tahu cara melampiaskannya." Dean sambil menatap sendu ke arah luar kelas yang mulai ramai. Waktunya pulang.
"Hahhhhh ... kau ini, aku hanya bertanya benci atau tidak?" Bagas berdiri dan beranjak duluan ke luar kelas tanpa memperhatikan Dean yang masih diam. Hatinya masih jengkel dan marah terhadap keputusan sidang. Sekali lagi ia berbalik badan dan menatap Dean.
"Kuberi tahu saja, kalau kau berani menuntut mereka. Itu bisa jadi pertimbangan besar. Pikirkan baik-baik. Selama ini pun korbannya hanya kau. Aku heran." Bagas menatap luar kelas yang sudah sepi. Bersiap meninggalkan Dean yang sepertinya tak bisa mengambil keputusan.
"Gas, wait me ... Aku sudah memutuskan. " Dean langsung menyusul Bagas yang sudah ada di depan kelas.
"Sudah habis ... Kesabaranku. Besok kita lakukan, Gas," kata Dean dengan penuh keyakinan. Tersenyum simpul Bagas mendengarnya.