Mungkin kekuatan tak akan ada artinya. Bila ada saat dimana ia sudah mencapai klimaks. Dan menjorok ke dasar lembah kelemahan yang paling dalam. Boleh jadi demikian. Tak jadi soal.
Tampaknya komitmen terasa sia-sia. Menguap ke atas hingga hilang tak berbekas. Hanya karena kepercayaan tak lagi menyertai di sudut-sudut ruang hati. Seperti ditelan bumi. Raib tak ada sisa sama sekali.
Lain halnya jika timbul sesuatu yang kiranya agak sedikit mustahil diterapkan. Hei, bukankah kemungkinan besar diciptakan untuk menjadi kenyataan? Menjadi sebuah keniscayaan.
Sejujurnya, jika segala sesuatu tak ada puncak dan batas. Maka yang ada kita jadi kehilangan arah untuk menentukan sebenarnya untuk apa kita diciptakan. Karena klimaks dan batas menuntun kita kepada tujuan yang paling sejati. Setelah pengembaraan kita yang cukup pendek ini. Mungkin memang mati bukanlah akhir. Tapi siapa yang tahu jika setelah itu bukan pula penutup dari segala hal yang ada. Itu adalah kekuasaan sang pencipta.
Entah bagaimana prosesnya nanti, Dia bebas menentukan sesuka hati. Tanpa klimaks, tanpa batas. Minimal jika kita tak bisa meraih kedua hal tersebut. Mencoba dan berusaha konsisten adalah pilihan terbaik. Ketimbang kita berserah lalu menyerah kalah. Itulah hal yang mampu lakukan selagi Tuhan masih sayang kepada kita. Dengarkanlah sedikit logika matematika ini. Daripada kita pasrah terhadap garis lurus yang kita tahu pasti ujungnya. Alangkah baiknya kita sedikit mengulur waktu. Dengan berbelok ke berbagai arah seraya membuat pola yang indah.
* * * * * * * * * *
Dean segera menepikan mobilnya di pinggir jalan yang terlihat sepi. Raut mukanya sedikit kusam karena bergadang semalaman. Untunglah saat ini jalanan Ibukota amat bersahabat. Tak terlalu macet, tapi untuk ukuran megapolitan sudah cukup mengesankan. Dean memeriksa ponsel di sakunya yang dari tadi bergetar. Tak apalah, mungkin ada urusan yang penting dan mendesak.
"Ya, ini dengan Dean Pamungkas. Ada yang bisa dibantu?" ucap Dean tanpa basa-basi. Siang ini ia harus menemui seseorang yang telah menunggu kedatangannya. Amat sangat penting.
"Kau sudah lupa padaku, hah? Hei bocah kasmaran?!" terdengar gelak tawa seseorang yang amat dikenalnya. Tidak, Dean tak mungkin lupa suara ini. Menjengkelkan memang, tapi ia amat sangat merindukannya.
"Bagas?!?!" seru Dean yang hampir teriak dalam mobil. Lupa dia bahwa hari ini ia harus bertemu seseorang yang amat membutuhkannya. Dalam waktu secepatnya.
"Kau dimana?" tanya Dean tak sabaran. Sudah lama mereka tak bertukar kabar dan putus kontak. Bagas seperti hilang ditelan bumi, susah dihubungi. Wajar jika Dean terkejut saat mendengar suara khas itu. Meski sudah sedikit berbeda.
"Aku baru tiba di Bandara Fatmawati, kota kita ini tak banyak berubah, ya?" desah Bagas diiringi tarikan napas panjang.