Hei, tahukah kalian bagaimana susahnya membuat sebuah awal? Karena mengikuti tak lebih baik dari seuntai ekor yang terjulur kaku. Terombang ambing tak tentu arah. Patuh manut. Lain halnya mereka yang sedikit saja mau mencurahkan pikiran atas dasar ingin maju. Meski masih berbentuk keinginan. Itu sudah kategori melangkah. Satu langkah awal.
Karena realita takkan pernah ada tanpa hadirnya ekspetasi. Warna putih takkan ada tanpa warna hitam. Pun pintar akan tiada jika bodoh telah lama lenyap. Raib tak berbekas seperti ditelan bumi. Ada masanya ini dan itu harus ada. Pun ada kalanya ini dan itu tidak boleh ada.
Tidaklah naif jika sedih punya tempat tersendiri. Manusialah yang tak bisa berpikir bahwa setiap kata pasti punya pesona tersendiri. Karena itulah kata tersebut ada. Diciptakan oleh sang pasak kuncinya kata pra-kata di semesta yang ia pun diungkapkan oleh kata. Tak ayal lagi, kehilangan menjadi salah satu dari luasnya semesta yang musti termaktubkan dalam untaian kata. Percayalah, ini tidak akan sia-sia. Bukan begitu?
* * * * * * * * * *
Dean melihat matahari yang tengah kembali ke peraduannya dengan wajah sendu, menatap nanar langit senja yang mulai kemerah-merahan. Biasanya ia suka dengan pemandangan seperti ini. Dirinya sangat menikmati senja petang, begitu memanjakan pikiran dan jiwanya. Tapi tengoklah ia sekarang. Bermuram durja saat keluar dari Bandara Fatmawati, Kota Bengkulu.
Jarang-jarang Dean pulang ke kota kelahirannya tersebut. Rutinitas dan profesi menuntutnya untuk tidak banyak berlibur. Sebanyak itu pula ia berhasil menyelamatkan para orang penting dan berkuasa, dengan kuantitas yang susah diukur dengan nalar. Namanya harum sebagai dokter handal yang selalu terpecaya. Ini seperti sebuah berkat dari tuhan untuknya, hal yang sudah digariskan.
Tak banyak yang berubah dari kotanya tersebut, masih punya euforianya tersendiri. Meski tak semaju kota-kota besar lainnya. Pesonanya amat sangat tersirat hingga membuat sebagian orang saja mampu memandang dari sudut yang berbeda.
Saat Dean melamar kerja sebagai dokter bedah di beberapa rumah sakit Ibukota, orang-orang tak banyak tahu soal kota tersebut. Padahal banyak sejarah yang terjadi di sana. Bunga terbesar di dunia pun dapat ditemukan dengan mudahnya. Rafflesia Arnoldii, sebuah keanehan jika kalian tahu bunga tersebut tapi buta dimana ia tumbuh. Benteng Fort Marlborough yang terbesar se-asia tenggara pun berdiri kokoh di sana. Menunjukkan betapa agung dan pentingnya kota tersebut hingga dibuat sisitem pertahanan yang kuat sedemikian rupa.
Di sinilah tempat presiden pertama Indonesia diasingkan, di sebuah rumah di Kelurahan Anggut, Kecamatan Ratu Samban, Bengkulu. Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada 1938-1942 setelah dipindah dari Ende, Flores. Sebuah rumah bergaya lama yang dulunya milik saudagar Tionghoa bernama Tjang Tjeng Kwat itu, kini telah menjelma menjadi wisata sejarah. Semua orang dapat menelusuri sejarahnya dari barang-barangnya yang masih terjaga apik, mulai dari kasur, meja dan kursi, hingga sepeda onthelnya.
Rumah ini menjadi saksi bisu bagi romansa kisah cinta segitiga Bung Karno, Ibu Inggit Garnasih dan Ibu Fatmawati. Sungguh, alangkah romantis kota tersebut bagi presiden pertama kita itu.
* * * * * * * * * *
"Teguhkan hatimu, Gas ....," ucap Dean menepuk pundak Bagas pelan yang daritadi tak henti-hentinya menatap tanah merah itu. Masih segar, kini tinggal mereka berdua yang masih enggan beranjak dari sana. Nisan itu sempurna tertanamkan disana dan terukir sebuah nama. Telah berpulang ke haribaan-Nya yang Agung: Ibu Nur Vitha Utomo bin Ali Bashir.
Mereka masih menikmati momen sunyi tersebut. Terkadang rasa sunyi itu bisa menjadi obat penenang ketimbang untaian kata yang indah. Dean tak banyak bicara sejak tadi, biarkan sahabatnya menghabiskan seluruh dukanya dengan seperti itu saja. Biarlah alam yang menyapa dan memberinya nasihat lewat angin yang berhembus dan rumput yang bergoyang.
"Sudah lama kita nggak ketemu, Gas. Kenapa akhir ini kau sulit dihubungi?" tanya Dean yang segera beranjak mengikuti Bagas yang sudah ingin pergi.
"Kau apa kabar?" Bagas balas bertanya pelan sambil membuka pintu mobil.
"Begitu baik, saking baiknya sampai lupa dengan sahabat sendiri," canda Dean yang disambut tarikan napas dalam Bagas.
"Kau tahu sendiri kan, Aku sibuk mengurus perusahaan ayahku yang sempat mau hancur di Kanada," kata Bagas yang fokus menatap jalanan.
"Well, memang beda ya keturunan darah biru ini." Dean berusaha berkelakar ringan.
"Hah, kau kini pun sudah jadi dokter hebat, De. Fotomu banyak beredar di media massa. 'Dokter muda berbakat', begitu kata mereka, kan?" ledek Bagas yang berangsur mulai ceria. Entahlah sudah berapa banyak luka yang dikenyam olehnya. Wajahnya selalu terkendali, emosi yang selalu dia kontrol dengan baik.