Jika keadaan membuatmu harus segera memilih, lantas kebingungan menyergap pikiranmu dan mengambil alih kuasa atas hatimu, apa yang akan kita lakukan? Tak mungkin kita hanya diam mematung dan membisu. Tak bergeming sedikitpun justru membuat urusan tersebut semakin runyam. Karena hal ini butuh yang namanya kepastian.
Mungkin jawaban ambigu yang tersamarkan bisa jadi solusi yang baik. Hati-hati nanti bisa semakin pelik. Ingat jangan sampai memberi harapan yang tak bisa kau realisasikan, sebab angan dan impian tak menjamin sebuah kenyataan. Bisa jadi menjadi sebuah ketidakniscayaan.
* * * * * * * * * *
Semburat sinar mentari menelisik Kota Bengkulu, terasa hangat dan bersahabat. Angin pagi pun ikut mengalun pelan, berpadu dengan jatuhnya dedaunan. Parade alam yang begitu menakjubkan, membuat begitu banyak keindahan. Bagas yang sedang meringkuk di kasurnya segera beranjak bangun. Semalam ia tak bisa tidur dengan nyenyak, selalu cemas. Hadap kanan salah, hadap kiri gelisah. Pikirannya direnggut oleh insiden yang terjadi kemarin. Daya pikir dan penalarannya yang biasanya tajam terhadap semua masalah seakan tumpul dan buntu. Dihadapkan kenyataan pahit bahwa ia tak bisa memilih salah satu dari dua pilihan, membuatnya dikelilingi sederet kebingungan. Kekhawatiran dan kegelisahan dihatinya seolah bermuara ke suatu titik hitam bernama kegalauan. Gelap gulita, buta arah Bagas dibuatnya.
* * * * * * * * * *
"Sarapan sudah siap, Neng Isha," kata seorang pembantu rumah tangga yang tengah membujuk anak gadis majikannya itu.
Bi Imah, bingung dan kasihan melihat Kalisha yang sejak kemarin tak ingin keluar dari kamarnya. Selera makannya pun tak kunjung datang setelah mendapat pernyataan yang membuat hatinya sedikit kecewa. Jawaban yang membuatnya begitu ingin memberi harapan lebih, alih-alih mengenyahkannya saja ia susah.
"Nanti aja, Bi ... belum laper, kok," kata Kalisha pelan. Suaranya sedikit serak, sejak kemarin ia belum minum. Alhasil kerongkongannya kering, sekering gurun pasir sekarang.
"Tuan dan Nyonya sedang menunggu di bawah, Neng. Nanti Bibi yang kena marah kalau Neng nggak sarapan."
Kalisha masih saja diam tak bergeming. Mana sudi ia menemui ayahnya yang sudah menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya selama ini. Kematian mendiang ibunya setahun lalu masih menyisakan kehilangan dibenaknya. Tentu saja ia masih belum siap menerima keputusan ayahnya, tanpa memberitahu dirinya terlebih dahulu. Malang nasibnya kemarin, seperti jatuh dari pohon lantas tertimpa tangga. Beruntun mengenai dirinya yang sejatinya begitu rapuh.
Sebenarnya kemarin ia sudah berani menyatakan perasaannya dengan gamblang. Sayangnya seribu serdadu yang awalnya siap membela dibelakangnya seketika itu juga lenyap saat Bagas hanya diam seraya menatap dingin dirinya. Habis sudah segala perasaan yang Kalisha ungkapkan. Semuanya begitu serentak tandas dan menyisakan sedikit harap yang tak begitu jelas. Parahnya setelah Bagas pergi dan meninggalkan Kalisha dengan segudang tanda tanya, ayahnya datang dengan menggandeng tangan seorang perempuan cantik yang Kalisha tak pernah kenal. Perih sekali hatinya, seperti diiris sembilu. Begitu menyakitkan.
Kalisha tahu ini amat sangat cepat, tiba-tiba saja perasaan itu tumbuh tak terkontrol dan liar menjalar ke seluruh relung jiwanya. Berkecamuk tak tentu arah Kalisha dibuatnya. Itu seakan terjadi begitu saja, spontan tak terkira.