Bagi setiap orang yang memiliki rasa dan menceritakannya kepada orang terdekatnya, taruhlah seorang sahabat. Begitu percayanya, hingga tidaklah mudah jika menerima kabar yang mungkin amat menyesakkan dada. Rasa sakitnya sungguh tak terkira. Menyangka semestinya ini tak harus begini, tak mesti terjadi.
Boleh jadi memaafkan adalah pilihan terbaik yang ada. Namun coba sedikit saja kau cermati lagi, apakah ada yang salah? Sadarilah bahwa engkau juga mungkin turut melakukan kesalahan yang mungkin fatal. Tak dapat dipungkiri kalau kau tak dapat menyadarinya, karena kau tak mungkin bisa terus menghindar dari sebuah rasa abai.
* * * * * * * * * *
"Aku serius, De!!! Nggak pernah aku menyakiti dirinya," seru Bagas yang suaranya mulai meninggi.
Dean yang menelpon tengah malam begini mana tahu Bagas sedang memiliki masalah pelik. Bagas memang masih menutupi kejadian itu. Tak menyangka Dean akan mengetahuinya secepat ini. Bahwa Kalisha sedang tidak baik-baik saja.
"Lalu kenapa setiap kali mendengar namamu ia terlihat begitu marah, hah?! Jawab aku, Gas! Nggak perlu kau menutupi apa yang sudah terjadi," sergah Dean yang tersulut api emosi.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?!? Asal kau tahu saja. Kalau seandainya kamu tidak mengurusi pasien kesayanganmu itu, ini semua nggak perlu terjadi!!!" pungkas Bagas yang langsung memutus panggilan tersebut. Dengan amat kesal ia lempar handphonenya ke sembarang tempat.
Dean yang mendapati panggilan tersebut telah terputus segera terdiam. Marah, tentu saja. Ia bahkan belum mendapatkan penjelasan apapun dari Bagas. Dean mengusap kepalanya yang kini terasa pusing. Bagaimanalah, beruntungnya besok ia sedang tidak bertugas. Masalahnya apakah malam ini ia bisa tidur dengan tenang sementara dirinya baru saja mengetahui bahwa kedua sahabatnya tidak sedang baik-baik saja. Saat seperti ini hanya ada satu kata yang diperlukan Dean. Sabar.
* * * * * * * * * *
Bagas yang sedang meringkuk di kasur pun tak ubahnya dengan Dean. Minggu lalu dia begitu tergoncang dengan sebuah e-mail dari salah seorang kepercayaannya di Kanada, pusat perusahaan milik mendiang Ayah Bagas berada. Dalam e-mail tersebut menjelaskan perusahaan mereka sedang masa kritis moneter.
Kerasnya dunia bisnis terkadang tidak pandang bulu. perusahaan paling raksasa sekalipun bisa jatuh. Penyebabnya bisa karena lambat menyesuaikan diri dengan iklim bisnis atau kesulitan keuangan. Namun setelah melakukan inspeksi besar-besaran, statistik finansial yang mereka kelola semakin lama semakin menurun drastis.
Too big to fail. Mungkin inilah kalimat yang paling cocok disematkan bagi Bagas Setyo Utomo, pebisnis muda berbakat yang memegang kendali atas Setyo Group. Dengan aset sekitar 640 miliar USD dan usia 108 tahun, sepertinya Setyo Group tak akan pernah bisa tergoyahkan. Tetapi jatuhnya perusahaan yang didirikan oleh Henry Setyo, yakni mendiang kakek Bagas ini disebabkan memburuknya sistem ekonomi Kanada dan dugaan manipulasi laporan keuangan.
Keadaan statistik finansial yang semakin mengenaskan memaksa Bagas sebagai CEO Setyo Group untuk segera mengajukan pailit. Semua Aset berharga yang masih dalam genggaman terpaksa dijual demi menstabilkan statistik keuangan yang kian merosot.