Jikalau takdir sudah berkata demikian, mau sekuat apapun kita berusaha untuk sesuatu yang kita inginkan dan butuhkan atau hanya sekedar ingin saja, tak akan berubah sedikit pun. Memang, saat ini kita kerap paham bahwa terdapat takdir yang bisa dirubah dan diperjuangkan. Wahai, ingatlah siapa yang berhak mengubahnya.
Bukan kita maupun mereka, tapi Dia.
Ingatlah semua keputusan yang bahkan sekecil apapun telah ditentukan, dipertimbangkan sebaik mungkin oleh-Nya. Pun Dialah satu-satunya yang berhak merubah.
Itupun kita harus berusaha keras sedemikian rupa hingga melampaui batas, barulah lembaran baru tersedia buat kita. Sekali lagi, bukan kita maupun mereka yang merubah, tapi lagi-lagi hanya Dia. Ya, cuma Dialah sang pemegang kendali takdir.
* * * * * * * * * *
"Saya izin nanti malam, sejauh ini tidak ada pasien yang mendapat jadwal bersama saya, kan?" tanya Dean dengan salah satu perawat yang magang.
"Oh, Silahkan saja, Dok. Akhir-akhir ini Dokter Dean terlihat lemas dan kusut. Manfaatkan waktu senggang ini untuk refreshing, Dok," jawab perawat perempuan tersebut yang sudah hafal di luar kepala dengan jadwal Dokter di rumah sakit tersebut.
"Terima kasih, ya ....," kata Dean yang langsung mengeluarkan handphonenya.
Ada panggilan masuk dari seseorang yang membuatnya termangu membatu, diam membisu. Lihatlah, siapa yang menelponnya saat ini ... Kalisha!
Dean yang masih mengira Kalisha marah besar terhadapnya seakan tak percaya melihat namanya yang elok itu sedang muncul di layar handphone-nya.
Astaga, pertanda apakah ini?
Segala macam pola pikiran segera bertengkar di kepala Dean. Beberapa prasangka mulai timbul satu per satu. Ragu Dia untuk mengangkat telepon tersebut. Tapi sekali lagi Dean memantapkan niatnya, mungkin dengan ini ia bisa tahu gambaran permasalahannya. Hampir lima menit lamanya. Dean langsung menerimanya sepersekian detik sebelum dering nada panggilan tersebut berakhir.
"H-ha ... Halo, kenapa, Sha? Se-Sekarang aku masih ada di rumah sakit," jawab Dean yang sedikit grogi, bicaranya jadi berantakan dan malah semakin mempersulit keadaan.
"Oh, sibuk, ya? Okay ... Nanti kutelepon lagi ya. Kapan bisa telepon, De?" tanya Kalisha yang langsung paham aktivitas Dean di rumah sakit.
"Eng ... Tunggu, emm ... Se-sebenarnya sekarang saja bisa, kok. A-anu ... Maksudnya, aku sekarang belum bertugas, jadi ya ....," kalimat Dean pun semakin kacau hanya karena mendengar suara Kalisha.
Meski hanya melalui telepon, Dean sejak tadi menyeka dahinya yang mulai terlihat butir-butir keringat. Entah kenapa dia merasa gerah hingga peluh membasahi sekujur badannya. Efek groginya mulai kambuh. Nervous mode on.
"Hmmm ... Malam minggu, kutunggu kamu di Bencoolen coffe house. Tahu tempatnya, kan?" kata Kalisha yang terdengar buru-buru.