Romansa Imaginer

Muhammad Arief Rahman
Chapter #21

Emergency

Hidup tanpa pernah menyatakan perasaan pada seseorang memang menyesakkan, terkurung selamanya dalam kerangkeng angan.

Tapi bukan berarti tak ada yang dapat kau lakukan. Karena semudah-mudahnya mengungkapkan, butuh juga keberanian. Terkadang, justru rasa berani itu timbul kala masa yang tak mengabul. Muncul saat dalam kondisi yang terdesak, sampai membuat diri menjadi sesak.

Manusia mungkin di desain untuk melakukan apa yang ada di depan mata. Tanpa melihat bagaimana esok lusa nanti menjadi berbeda atau bahkan tiada. Maka setelah tujuan luruh bersama harapan, kita hanya sanggup berangan-angan. Penuh penyesalan, bukankah demikian?

Kalau sudah begitu, hanya satu yang bisa kau lakukan. Perjuangkan, walau dengan hasil yang mungkin lebih buruk dari apa yang kau bayangkan. Camkan.

* * * * * * * * * *

"Pasien baru, datang! Luka tusuk di bagian perut sebelah kiri!" teriak perawat yang sedang mendorong emergency stretcher, masuk ke ruang UGD.

Pandhu dan Dean juga ikut mendorong alat transport pasien tersebut. Wajah-wajah resah, segera memenuhi euforia ruang UGD secara menyeluruh. Dua orang dokter berjas putih masuk dan segera memakai masker.

"Maaf, anda berdua diharuskan menunggu di luar. Pihak yang tak berkepentingan diharap tidak menyusahkan tim medis rumah sakit ini," kata salah seorang perawat kepada Pandhu dan Dean yang tak beranjak dari sana.

"Dia kawan kami! Mana mungkin kami cuma menunggu dan pasrah di luar sana. Biarkan kami di sini!" seru Dean dengan wajah yang amat pucat. Tidak, kali ini Dia tak boleh kehilangan lagi.

"Sudahlah, De. Biarkan mereka bekerja. Agar Bagas lekas sembuh." Pandhu menarik paksa Dean yang meronta-ronta tak keruan. Kalisha berbeda lagi ceritanya. Perempuan itu langsung jatuh pingsan begitu tahu kabar tentang Bagas. Dua kali berturut-turut Kalisha pingsan, selama itu pula air matanya habis. Menangis dan tergugu, dan untuk ke sekian kalinya ia tak sadarkan diri.

* * * * * * * * * *

Dua orang dokter yang telah bersiap segera melakukan langkah-langkah pertolongan pertama. Dean sudah berhasil dikeluarkan. Kuat sekali tenaganya, butuh dua orang perawat untuk mengurus Dean. Kalisha baru saja siuman, tapi masih menangis dalam diam.

"Baiklah, bagaimana pasien tersebut bisa terluka?" tanya sang dokter kepada perawat yang mengantarkan pasien tersebut.

"Salah satu temannya yang tadi menemukannya tergeletak berlumuran darah lantas melaporkannya. Menurut kesaksiannya, seseorang berusaha membunuh pasien ini. Di sekitar tempat kejadian perkara ditemukan sebilah pisau. Sudah dipastikan bahwa pelakulah yang menggunakan pisau tersebut." Perawat tersebut menjelaskan kronologis Bagas yang kini tengah berada di masa kritis. Kedua dokter tersebut segera berupaya memberikan pertolongan pertama kepada Bagas.

"Berapa tekanan darah pasien?" perawat perempuan segera memeriksa angka yang tertera, wajahnya berubah cemas.

"Sistol-nya enam puluh tujuh. Sebentar lagi tekanan darahnya tak bisa dideteksi."

"Oke, sekarang kita harus tahu seberapa dalam lukanya. Lakukan intubasi trakea lalu CT scan!" perintah salah satu dokter itu, perawat segera bergegas.

"Tunggu, Kalian tak boleh melakukan CT scan!" tegas seseorang yang masuk ke dalam UGD, ia memakai jas dokter lemgkap dengan masker dan sarung tangan.

Lihat selengkapnya