Romansa Imaginer

Muhammad Arief Rahman
Chapter #22

Touch Your Heart

Mana yang lebih baik bagimu? Menolak agar hati senantiasa tenang, tenteram apa adanya. Atau menerima, tapi jiwa memberontak tak sudi atas apa yang sudah tiada.

Maukah kau mengetahui satu hal yang bisa menjadikanmu memilih tanpa kemelut resah dan gelisah? Setiap pilihan pasti mempunyai konsekuensinya masing-masing. Bersyukurlah kau diberi kesempatan untuk menentukan suatu pilihan. Sebab bukan hanya kau yang merasakan pedih dilema, bahkan ada yang lebih menyakitkan ketimbang kita. Kalaupun demikian, sadarilah.

Andaikata para satwa boleh memilih habitatnya sesuka hati, boleh jadi tak akan ada yang sudi tinggal di bumi. Hidup berdampingan dengan manusia yang tak pernah merasa puas, penuh akan ambisi. Dengan segenap kemajuan teknologi, mereka hancurkan apa yang ada secara tidak manusiawi.

Yang pasti, perlu kau ketahui bahwa selama masih ada harapan pada kedua pilihan tersebut, serahkan semuanya pada nurani. Biarlah ia yang membimbing secara perlahan. Tak usah risau, janganlah galau.

* * * * * * * * * *

Setelah melakukan yang terbaik pun, harus siap dengan keadaan yang tak kenal ampun. Meskipun ketelitian dan kejelian pikiran telah dikerahkan, jangan serta merta kaget dengan takdir Tuhan.

Jika demikian, lantas kau mau apa? Mengatakan tuhan amat kejam lalu membencinya dengan segenap luka dan lara? Ketahuilah! Ini keputusan terbaik yang ditentukan oleh sang empunya alam semesta, termasuk kita. Berbaik sangkalah! Karena dengan ini semua, ketabahan dan kesabaran dapat tercipta. Lalu dapat menyadari, betapa kecil dan lemahnya kita saat berada di hadapan–Nya.

* * * * * * * * * *

"Apakah aku pantas menjadi dokter?" Kalimat itulah yang pertama kali keluar dari mulut Dean, bersamaan dengan air mata yang perlahan mulai luruh.

Kalisha yang sudah kehabisan air matanya hanya terdiam, seolah tak mau percaya dengan kenyataan yang ada. Tidak, dirinya tak boleh pingsan untuk saat ini. Karena jikalau boleh, ia ingin tak sadarkan diri selamanya saja, agar bisa bersama dan berjumpa lagi dengannya.

Pandhu pun hanya mengusap wajahnya yang terlihat kuyu. Menyesal kenapa tidak bisa sedikit saja lebih cepat untuk tiba di lokasi kejadian saat itu. Andai saja waktu dapat diputar balik, sayangnya tidak. Mustahil dilakukan.

Sebelumnya Bagas ingat dan tahu kalau tempat kesukaan Dean sejak kecil adalah meriam bagian atas yang menghadap langsung ke arah pantai di benteng itu. Sesegera mungkin ia memerintahkan seluruh pasukan tuksedo hitamnya untuk pergi ke sana dan melindungi kedua sahabatnya. Sempat terjadi baku tembak. Namun pasukan tuksedo hitam unggul dalam kualitas maupun kuantitas. Para pembunuh bayaran yang dikirim itu segera mundur.

Sebenarnya saat Bagas dan Pandhu bersitegang di kafe, itu hanyalah akal-akalan mereka saja. Hanya artifisial dan hipokrit yang amat sederhana. Bagas merasakan sesuatu yang pelik dan segera menyadari bahwa sejak dari tadi sudah banyak personel yang menguntitdanmembuntutinya. Maka pada saat seorang waitrees memberikan bill of fare, Bagas mendapatkan ide cemerlang itu.

Pura-pura saking kalap dirinya, lantas mencoret-coret kertas menu tersebut. Padahal itu isyarat penting buat Pandhu agar lekas pergi sedangkan Bagas akan memancing para penguntit itu sendiri. Dia juga sengaja meninggalkan handphonenya yang berisi rekaman bukti di atas meja supaya Pandhu bisa membawanya. 

Lihat selengkapnya