Berapa banyak kicauan para pujangga, masihkah kau berharap jika cinta tak dapat dipaksa?
Berapa banyak nasihat bijak tentang cinta, dapatlah kau yang di sana berusaha menerima?
Tentang cinta, sebenarnya apa hakikat mencintai? Kalau hanya sebatas suka lantas mengharapkan orang tersebut berkata "Ya, aku juga cinta padamu."
Sekecil itukah? Sesederhana itukah?
Satu yang pasti. Jika kau terus bersikeras lalu berujung pada obsesi yang teramat sangat, dia sama sekali bukan cinta sejatimu. Tunggu dan bersabarlah, pasti ada jalan.
* * * * * * * * * *
"Jadi ... Kau ingin apa?" ucap Dean tak suka, jujur dia amat membenci laki-laki yang sedang berada di hadapannya, si berandal Pandhu.
Kalau bukan karena Pandhu yang menemukan dan mengantar Bagas ke rumah sakit, Dean mana sudi sekedar bertatap muka. Muak sekali rasanya.
Pandu memperbaiki posisi duduknya. Menyesap sedikit kopi yang mereka pesan di kafe 'Janji Jiwa' itu. Lantas menaruhnya pelan di meja. "Bisakah kita bicara dengan santai saja? Dengan secangkir kopi mungkin. Tak perlulah emosi begitu."
"Aku datang ke sini tidak untuk minum kopi, jadi cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan? Waktuku terbatas."
"Ah, bukannya kau hari ini libur? Aku sudah tanya salah satu perawat di rumah sakit. Kau tidak ada jadwal hari ini." Pandhu terkekeh pelan, dia merogoh sesuatu di sakunya.
"Jangan membuatku marah, Pandhu!" tegas Dean yang kali ini emosinya tertahan, hampir meledak.
"Ini ... Listen and watch this recording."
Rekaman suara dari handphone berwarna hitam itu segera berputar. Perlahan tapi pasti, membuat Dean yang tadinya penuh emosi kini terkulai lemas di kursi. Tubuhnya bergetar hebat, dirinya benar-benar syok atas apa yang ia dengarkan.
"A-apa ini ... Apa maksudnya?!" pelan Dean menatap Pandhu yang kini mulai tampak serius.
"Singkatnya, permasalahan Bagas itu belum selesai sampai di sini. Dalangnya masih berkeliaran bebas." Pandhu mengambil handphone milik Bagas tersebut dan mengantonginya kembali.