Tak terasa ini sudah lama sekali. Ah, tidak juga. Sekitar tiga tahun silam, akhir dari kependidikan gue di SMP AIBoS (Alkarim Islamic Boarding School). Saat gue begitu menikmati esensial dunia kompetisi. Perlombaan-perlombaan yang tak bisa gue hitung dengan jari. Saking banyaknya, pun saking sedikit pula untuk sekedar menjadi salah satu dari ingatan dalam memori. Hanya beberapa saja yang terpatri rapi.
Tak jadi soal menang atau kalah. Hanya buat merasakan buaian dunia luar saja. Karena sepanjang waktu kami digembleng dan diasah secara beruntun. Sehingga sedikit terisolasi dari dunia luar. Asal gue bisa keluar sejenak dengan dalih mengikuti lomba. Tak masalah. Gue ikut berbagai macam lomba. Namun secara keseluruhan gue banyak menang di lomba MTQ (Musabaqoh Tilawatil Quran). Meski juga pernah menang di pidato bahasa Arab.
Well, semenjak itulah gue difokuskan kesana. Alunan nada bermacam gaya yang tak sekedar merdu. Khas pembuka dan penutup. Durabilitas pernafasan panjang. Belum lagi soal Qira'ah sab'ah, bacaan yang tujuh macam jumlahnya. Menganalisa dialek beberapa bangsa yang terpadukan dalam sebuah bacaan tersebut. Membuat gue mengaji sudah seperti lantunan kucing kena cekik. Belum mulai sudah mulas duluan.
Tapi gue mengambil hikmahnya saja. Yang penting keluar dari pondok. Sederhana betul niat gue. Tak muluk-muluk gue pertama ikut lomba langsung mencaplok juara 3. Kalau gue nggak salah di SMAN 1 Kota Bengkulu dalam rangka memperingati ulang tahun sekolah tersebut. Sebab itu gue jadi sering pulang-pergi pondok. Walau ada saja kalahnya. Singkat cerita, gue disuruh coba ajang MTQ yang lebih bergengsi.
It means, lomba yang dinaungi langsung oleh Kementerian Agama RI. Alurnya tak mungkin langsung melalangbuana ke ibukota lantas tiba di tingkat nasional. Tak semudah itu ferguso! Gue mulai dari tingkat kota dulu.
Kompetisi tersebut dilaksanakan di Masjid yang gue sendiri lupa namanya. Saat itu gue sebagai perwakilan kecamatan Gading Cempaka. Hal itu tak lain untuk menyaring seluruh bakat yang ada di Kota Bengkulu berdasarkan utusan dari tiap kecamatan. Gue udah siap sejak dahulu kala.
Jangan tertawa. Perlu kalian ketahui kalau gumaman gue dulu itu amat berfaedah. Setiap kali senja mengelanyut, gue selalu menyempatkan diri ke ujung koridor kelas yang tepat disampingnya terhampar hijaunya sawah lapang.
‘Enjoy the dusk in the simple place’ kataku dalam hati. Angin sore menelisik sekitar rambut. Amatlah elok jika gue sedikit saja untuk melafalkan kalam-Nya.
Persiapan gue sudah amat matang. But, perlu diketahui bahwa sebenarnya gue punya seorang rival. Saingan sejawat. Ini berbeda dengan Haikhal Fazad di SMA gue. It's not a partner.
Namanya Shendy Aleyhandra Putra. Neraca menang kalah gue sama dia cuma beda tipis. Katakanlah sama. Menurut gue, ini adalah puncak persaingan bagi kami berdua. Karena saat ajang MTQ ini dipublikasikan, kami telah duduk di bangku kelas 9. Kondisi saat itu tepatnya jatuh pada TRY OUT kedua.
Entah kenapa dia tidak juga mendapat kecamatan yang bersedia menerimanya sebagai utusan. Semua kecamatan telah menentukan maling-masing utusannya. It was full participants. Akhirnya, terpaksa gue maju sendiri.
Keesokan harinya, malang tak dapat ditolak. Pun sial tak kunjung padam. Hujan deras menerpa seluruh kota madya Bengkulu. Amboi. Gue lihat awan hitam legam serta angin yang sedikit menggoyahkan mental gue saat itu.
Celakanya, Ustadz yang mau jemput gue mendadak ada urusan genting. Gue tanya sama bagian pengembangan bakat. Kenal deket banget gue sama ini Ustadz. Nama beliau adalah Kak Medi Ariansyah.
Bilangnya, sih, ia belum terlalu tua sehingga gue sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri. Alhasil, gue berangkat sama dia naik motor. Sebenarnya gue sudah kepalang mager ikut lomba ini. Kondisinya sama sekali kurang bersahabat. Tapi Kak Medi malah jelasin kalau ini sebagai pencarian jati diri sekaligus pengalaman berharga buat masa depan gue.
Ya sudahlah, gue ikutin aja. Kami berangkat menembus hujan dengan berbalut mantel dan jaket. Bodohnya gue saat itu adalah memakai seragam utusan resmi kecamatan dan sepanjang perjalanan kami basah kuyup. Tentulah kusut masai kami ketika sampai di pelataran masjid.
Gue yang paling payah keadaannya. Seragam resmi lecek dan basah. Sepatu gue basah (beruntung lombanya di masjid). Kelupaan bawa peci pula. Amboi, mantap sudah fashion gue. Langsung masuk gue ke bagian registrasi ulang. Lantas mengisi daftar kehadiran seraya mengambil nomor lomba. Panitia malah senyum melihat gue. Pake sinis pula bapak ini menatap gue.
Ah, sudahlah. Gue masuk ke area lomba yang ternyata acara telah dimulai sejak lama.
Baru aja gue duduk sambil sedikit menata rambut yang cukup basah. Belum sempat menghela napas dan menyeka lecak lepek seragam, nama gue dipanggil untuk maju kedepan!!! What the hell?! Gue tambah dongkol sewaktu gue berdiri mau menuju ke arah panggung, seketika peserta lomba dan para official tiap kecamatan menatap aneh.
Gue kikuk aja sambil jalan ke arah panggung. Aduh, kenapa waktu terasa berjalan macam siput terseok pelan. Gue jalan kesana udah kayak satu kilometer aja jaraknya. Sampai disana, gue duduk bersila, menatap juri satu per satu. Khasnya lomba ini adalah panggungnya itu seperti kita diisolasi. Macam masuk dalam telur. Tertutup oleh kaca bening.
Menurut gue ini sangat membantu kita lantaran melindungi diri dari euforia tegang. Jadi i can see the audiende and they can see me too. Gitu, kita serasa menonton dan ditonton. Lantas gue coba mengalihkan grogi dengan sedikit mengambil napas. Mulai. Gue memakai tingkatan nada terendah bayati qarar, lantas disusul oleh rhos, hijaz terus gue tutup pake bayati lagi. Lumayan lancar.
Semua peserta gue bungkam semua kalau ini bukan ajang yang mempermasalahkan penampilan. Tapi bagaimana kita merealisasikan kemampuan di atas panggung. Keluar dari masjid, gue sama kak Medi makan and back to second home sweet home.