Putu seperti pemuda Bali pada umunya, tubuhnya tidak terlalu tinggi atau pun terlalu gemuk. Warna kulit sawo matang dan tanda lahir di bagian tangan kanan mencirikan dirinya. Yang paling khas pada dirinya adalah rambut yang rapi serta kaca mata tipis yang selalu dipakainya.
Putu tinggal bersama ayah, ibu, dan kakek. Dua bulan yang lalu neneknya meninggal karena penyakit kanker. Nenek sudah biasa keluar masuk rumah sakit. Bulan Desember lalu, nenek masuk rumah sakit sebanyak lima kali. Beberapa hari kemudian, tepatnya 22 Desember berbarengan dengan hari Ibu, nenek meninggal.
Ayah adalah seorang penjual susu. Setiap jam 3 dini hari, ayah sudah berangkat ke pasar membawa susu dagangannya. Ayah bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Apalagi terhadap kebutuhan sekolah anaknya, berusaha sekuat tenaga mencari penghasilan lebih dengan cara lembur membersihkan botol-botol susu di pabrik.
Putu tahu persis apa yang ayah doakan. Ayah berdoa agar anak kebanggaannya menjadi anak yang berguna untuk orang banyak di masa depan. Pernah saat Rainan Purnama, mereka sekeluarga sembahyang bersama. Putu duduk disamping kanan ayahnnya sedangkan ibu disamping kiri. Ayah berdoa sangat khusuk. Dalam doanya, menyelipkan nama Putu agar senantiasa berguna untuk keluarga dan orang lain. Sejak saat itulah Putu mengerti maksud ayah, mengapa ia disekolahkan di sekolah favorit, pasti agar Putu mendapatkan ilmu yang lebih baik.
Hujan di sore hari membuat Putu tidak bisa kemana-mana. Pada saat ini lah ibu dan ayah ke kamar Putu, duduk di kursi kayu dan berbicara dengan anaknya.
“Tu, ayah tidak minta lebih kepadamu. Ayah hanya ingin kamu belajar dengan sungguh-sungguh selagi kamu masih muda. Jangan tiru jejak ayah dan ibumu ini, kami hanya di pandang sebelah mata karena keadaan ini.” Kata ayah
“Ia tu, turutilah permintaan ayahmu, jangan hanya menghabiskan waktumu hanya untuk bermain-main saja. Apalagi sering bermain gitar di warung. Ibu dan Ayahmu ini tidak begitu setuju. Sesekali dengarkanlah cibiran tetangga yang mengatakanmu anak gelandangan mirip pengamen.” Kata ibu
Kalau sudah ibu berbicara, sedikit saja Putu tak berani berkata. Padahal ibu bukan orang yang mengenyam pendidikan yang tinggi, hanya sampai SMP saja. Namun kelihaian menyentuh hati anaknya tidak usah diragukan lagi.
Putu hanya terdiam tidak berani membantah apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya. Padahal didalam hatinya ia memberontak. Tidak senang kalau hidupnya diatur-atur apalagi kalau urusan bermain musik, ia sangat tidak suka! Kalau saja temannya yang berkata demikian pasti akan dimarahinya. Putu sudah remaja, beda dengan Putu yang dulu masih kecil. Dulu ketika masih kecil berjalan pun harus diarahkan namun sekarang jangankan berjalan, ditemani bepergian pun ia sudah merasa risih.
Putu yakin suatu saat nanti akan bisa membahagiakan orang tuanya dengan hobinya bermain musik. Sejatinya tidak harus meninggalkan hobi untuk mengenyam pendidikan. Tetapi orang tua terkadang takut akan hobi bermusik menganggu pendidikan anaknya.