Catatan Grace:
"Aku sangat membencimu sampai tanganku begitu ingin kembali melepaskan tamparan padamu! Kupikir kau tidak tertarik padanya. Tapi kau justru menghancurkan hidupnya. Apa yang sebenarnya ingin kaulakukan?"
Kalimat barusan yang kulontarkan itu bisakah kalian tebak untuk siapa? Tentu saja itu bukan terhadap suamiku. Rehan pasti lebih dulu mengalah sebelum amarahku meledak. Ini sebagai peringatanku pada Brian Claude. Aku segera menemuinya di hotel ketika mengambil cuti hendak honeymoon ke Jepang. Kupikir dia akan berang atas tindakan yang kulakukan padanya. Namun, lelaki arogan itu tidak bereaksi sama sekali. Dia tampak kusut dan lelah. Hal tersebut justru membuatku mengasihaninya. Terlebih lagi dia terdengar sangat putus asa memandang setumpuk amplop cokelat. Dia pasti sangat tertekan oleh sederet ancaman yang ditujukan padanya lewat Dira. Berkata dengan sedih.
"Sepertinya kelahiranku hanya menyebabkan masalah bagi orang-orang di sekitarku. Bahkan untuk melindunginya pun aku tidak bisa. Semua usahaku sia-sia."
Saat itu aku tahu bahwa lelaki bernama Brian Claude mencintai Indira dengan tulus. Sepertinya luapan emosional tersebut juga jatuh pada lelaki yang menikahiku. Sulit mengatakan untuk tidak ikut larut dalam perasaan itu. Rehan Wijaya meneteskan air matanya melihatku berjuang melahirkan bayi kami. Menggenggam erat tanganku.
"Adakah yang harus kulakukan untuk mengurangi rasa sakitmu, Grace? Aku tidak akan ke mana-mana. Bertahan ya. Aku akan di sini, bersamamu. Aku mencintaimu."
Oh, bagaimana mungkin aku tidak terenyuh melihatnya menangis seperti itu? Dia juga masih menahan air mata ketika mengazankan bayi mungil dalam gendongannya. Ya, dan hal itu membuatku menyadari akan limpahan cintanya yang besar padaku. Pada keluarga kecil kami.
"Apa kau tahu? Aku membenci sikapmu yang selalu mengatakan 'baik-baik saja' padaku. Kupikir memang itu yang sebenarnya. Tapi sejak kau menutupi insiden di Bali, aku selalu cemas dengan keadaanmu. Hilangkan semua rasa bersalah pada Ayah dan Ibumu. Aku yakin, mereka juga tidak akan menyukainya melihatmu terus menerus tenggelam dalam kesedihan. Jadi aku mohon, bisakah kau mulai sekarang melaporkan perasaanmu padaku?"
"Lagi? Kenapa kau selalu menakutiku dengan kalimat 'baik-baik saja', Dira? Kau selalu mengutamakan perasaan orang lain sebelum dirimu. Mencoba menanggung kesulitan itu sendiri. Tidak masalah jika kau ingin mengatakan 'Aku tidak baik-baik saja' dan meminta bantuanku. Apa kau tidak percaya padaku?"
Berbicara menyangkut Indira, aku selalu ingin mengorek perasaannya. Semua kalimat yang aku ucapkan harus benar-benar kuulangi kembali. Baik jarak jauh maupun bertemu secara langsung. Dia sangat keras kepala jika sudah bertekad. Hal itu juga yang membuatku mengagumi sosoknya. Dia orang pertama yang tahu di saat aku tidak ingin sendiri. Aku bahagia karena kau menjadi bagian dalam hidupku dan aku menyayangimu.
Catatan Rehan: