Salah satu beranda di flat apartemen lantai tiga kawasan Konak sengaja dibiarkan tetap menyala oleh si penghuni. Ketika para tetangganya dengan nyaman menyelimuti diri di balik selimut, Indira justru memilih berada di luar kamar. Gadis itu menolak berada dalam suasana gulita. Kegelapan telah menjadi musuh mendarah daging. Dia akan jauh lebih tenang bermandikan cahaya. Sama seperti saat ini menikmati pendaran lampu-lampu yang menjulang tinggi dari segala gedung mewarnai langit kota Izmir. Menggantikan gemerlap kembang api di perayaan malam tahun baru. Sejenak alunan tilawah di beberapa masjid berhasil menghentikan kecamuk dalam dirinya. Dia menghela napas panjang, lantas menyapu pandangan ke setiap sudut kota Izmir yang dapat dilihat dari tempatnya berdiri.
Ketika gadis itu berinisiatif kembali ke kamar, udara dingin telah lebih dulu mengambil alih kesenangannya. Sangat perlahan Dira mengembuskan napas, lalu meniupkan di kedua telapak tangan berharap sedikit mengusir rasa beku yang mulai merayapi. Ternyata dia tidak cukup menguasai keadaan. Bahkan jika tangan kirinya tidak segera meraih pinggiran balkon, nyaris saja dia kehilangan keseimbangan. Dia merasa kesulitan hanya bertumpu pada satu tangan. Namun begitu dia tetap memacu otaknya bekerja. Ayolah Ra... kamu pasti bisa! Jangan sampai mereka melihatmu dengan kondisi seperti ini. Setelah cukup stabil menegakkan tubuh, Dira merentangkan kedua tangan seraya memejamkan mata.
Tidak butuh waktu lama bagi Dira menyadari kehadiran seseorang di belakangnya. Menarik lengannya secara mendadak. Tanpa menoleh pun dia sudah tahu siapa orang tersebut. Sambil tersenyum kecut, dia bisa melihat sorot ketakutan dari mata Grace. Dira membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan Grace. Selama lima menit barulah wanita itu mengeluarkan suara. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup membuat dia terdiam.
“Astaga Dira... kau baru saja membuatku histeris! Apa pun alasanmu, kumohon jangan lakukan hal bodoh semacam ini lagi. Berjanjilah padaku!”
Dira hanya menatap Grace. Ingin sekali dia sekadar menenangkan kekhawatiran sahabatnya itu. Dia merasa tidak berdaya. Justru rasa sakit dalam tenggorokannya kembali meledak. Embusan napas pun turut berpacu seiring isak tangis. Dia telah ingkar janji untuk tidak membuat orang di dekatnya merasa cemas. Dira merasakan Grace mengguncangkan tubuhnya sembari mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dia tangkap dengan jelas.
“Dira, kau mendengarku? Kumohon jawablah...,” Grace masih terus mengalunkan suaranya. Beberapa detik kemudian suara itu terdengar begitu jauh dari pendengaran dan semakin mengabur bersamaan dengan kesadarannya yang turut pula menghilang.