Romantic Destination (Found You)

Alita
Chapter #2

Dreams Come True

Tepat pukul enam pagi semilir angin menyusup ke celah jendela kamar. Seorang gadis belasan tahun membiarkan ruang kamar tanpa penerangan. Dia tengah mengawasi segala sesuatu di hadapannya dengan saksama. Hanya terpaut enam meter terhampar persawahan milik warga desa. Indira tidak menunggu sahutan ayam, tetapi mengamati pergantian warna di langit. Ya, kemunculan sang fajar bertengger di ufuk timur. Perlahan dia menutup mata dan mulai menghitung seraya berkata, “Welcome, sunrise....”

Dibutuhkan waktu sepuluh menit untuk Dira menghayati kejadian itu. Sudah menjadi ritual pagi usai shalat subuh, melantunkan ayat-ayat Al-Quran, kemudian mematikan lampu sambil berdiri di dekat jendela kamar. Dia menyenangi alam. Jika hujan mengguyur bumi pun dia tetap melakukan hal tersebut. Baginya tetesan air mampu memberi efek relaksasi. Namun saat teman sekolahnya mengetahui kegemaran akan bahan bacaan berupa karya ilmiah maupun fiksi fantasi, justru dinilai aneh.

“Aku ndak ngerti sama cara berpikirmu itu, Ra! Bisa-bisanya kecanduan sama buku yang super njelimet kayak begituan. Kalau aku sih, baru lihat judulnya saja sudah puyeng duluan.“

“Jangan bilang, jadi penerjemah Bahasa Inggris ayahmu untuk wisatawan asing juga gara-gara peta dunia yang ada di kamarmu itu, ya? Jangan aneh-aneh, toh, Ra! Apa mengajari anak-anak mengaji belum cukup buatmu?”

Itulah segelintir kalimat yang dilontarkan mereka. Lewat cerita dari sang ayah, Dira mengetahui bahwa kakeknya mendapatkan tawaran pekerjaan di Pulau Dewata Bali, sehingga beliau juga lahir di sana. Mereka pun memutuskan ke kampung halaman saat ayahnya berusia delapan tahun. Ternyata berbagai kisah tersebut telah menyulut gairah imajinasi Dira. Sampai sebuah rencana besar siap dia lancarkan pada acara study tour sekolah.

“Kita tidak akan melakukan acara itu kalau pihak sekolah belum mengeluarkan programnya. Jadi kalian harus bersabar,” ucap wali kelasnya saat memberi pengumuman.

Tanpa disangka Dira berkomentar, “Saya sudah membuatnya, Pak!” serunya menghampiri meja sang wali kelas sambil menyodorkan proposal.

Pak Trisno mengerutkan kening dan mengerjap hingga membuat kacamatanya tampak melorot. Meski dikenal sebagai guru yang tidak mudah luluh oleh tingkah laku para murid, kemampuan dalam pendidikan maupun berbisnis tidaklah bisa diremehkan. Suasana hening. Seisi kelas menunggu reaksi yang akan dilontarkan wali kelas mereka. Sesekali sang guru memandang Dira, lalu beralih pada lembaran kertas di tangan. Hal tersebut membuat gadis itu menjadi was-was. Kegelisahannya semakin terlihat kala Pak Trisno menyuruhnya untuk maju.

“Sungguh disayangkan,” tukasnya diiringi gelengan kepala. ”bagaimana bisa dirimu punya pemikiran seperti ini, Dira?”

Dira hanya menelan ludah. Mendadak kerongkongannya kering. Mungkinkah tindakannya terlalu konyol? Dia menggigit bibir sebelum berkata dengan tergagap, “Ma-maksud Bapak? Apa... apa ada yang salah, Pak?”

Wali kelasnya itu menggeleng pelan dan tersenyum tipis. “Jelas salah. Ide darimu ini langsung membuat kepala Bapak pusing.”

Dira justru dibuat seperti anak kecil yang harus mencerna arti dari tiap kalimat lawan bicaranya. Pak Trisno segera mengerti atas sikap Dira yang hanya berdiam diri. “Ya, mau bagaimana lagi, karena sudah disusun secara terperinci seperti ini, Bapak mengizinkanmu mempresentasikannya pada pihak sekolah.”

“P-presentasi, Pak?” tanyanya dengan ragu.

Gurunya itu menganggukkan kepala. “Ya, kita bicarakan sepulang sekolah.”

“Sepulang sekolah?” balas Dira setengah tidak percaya.

“Kamu ndak perlu mengulangi kata-kata Bapak, toh? Jangan sampai Bapak berubah pikiran, lho!” jawab Pak Trisno memberikan seulas senyum. Meskipun tidak mengubah mimik serius gurunya yang killer itu.

Lihat selengkapnya