Romantic Destination (Found You)

Alita
Chapter #4

Ricuh

Dira menutup wajah dengan kedua tangannya dengan gemas. Dia telah melakukan kesalahan hingga membuat Grace meninggalkan vila. Saat hendak menawarkan sandwich keju dan cokelat hangat untuk sarapan Grace, dia begitu terkejut mengamati sahabatnya itu sedang berkemas. Nampan yang dipegangnya dia letakkan sembarangan ke meja sampai tumpahan cokelat berjatuhan di lantai.

“Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa menyelesaikan masalahmu, Grace!” sambar Dira menutup kembali lemari pakaian. “Kalau begini caranya, pendapat mereka tentangmu akan terbukti benar.”

“Bukankah itu memang sudah terjadi? Sekarang kau tidak perlu bersusah payah untuk menenangkan diri karena aku yang akan mengambil alih peranmu,” balas Grace dengan senyum cemooh.

“Ingat, Grace! Caramu melarikan diri itu sangat kekanakan. Perlu kamu tahu, sampai kapan pun kamu tidak akan bisa melindungi ibumu kalau terus bersembunyi.”

Sejenak atmosfer di ruangan itu mendadak vakum. Dira menelan ludah. Mengatupkan mulut rapat-rapat terkejut dengan ucapannya sendiri yang terdengar lebih keras dari perkiraan. Apalagi dia menggunakan bahasa Indonesia. Meski Grace sudah cukup lancar, tetap saja dia tidak akan senang. Mereka sudah berkomitmen untuk tidak mencampurkan bahasa yang berbeda ketika mendiskusikan hal serius sampai salah satu di antara mereka benar-benar menguasainya, sehingga bisa saling mengerti isi pembicaraan tersebut.

Sementara Grace kembali memasukkan pakaian ke koper dengan kasar. Dia menggertakkan gigi, namun tidak berkata apa-apa. Hanya suara keras daun pintu ditutup pertanda keberadaan gadis itu tidak dirasakan lagi di kamar. Dira meremas bantal guling sambil menggerutu, “Apa yang baru saja kulakukan? Oh, kenapa aku begitu ceroboh menyinggung zona paling sensitif itu?”

Pikirannya teralihkan oleh sumber irama musik dari ipod di ranjang Grace yang masih mengalun lembut. Dia bahkan tidak menyadari sekelilingnya berantakan. Tapi saat ini hal tersebut tidaklah penting. Dia ingin menikmati sederet lagu Westlife. Mengembalikan memori tentang Grace.

***

“Kenapa tidak cerita kalau ternyata kau juga penggemar lagu mereka?” tanya Dira ketika membuka ipod Grace berisi kumpulan album Westlife. “Kau suka yang mana? Sebentar,” Dira membuka playlist memutarkan Season In The Sun, “pasti ini. Aku sering mendengar kau memainkannya.”

“Kalau aku cerita, imajinasimu pasti kambuh lagi. Hasilnya aku akan memutar otak supaya bisa mengerti kata-katamu itu.”

Perlu dua detik untuk Dira mengambil keputusan untuk buka suara. Dua detik yang cukup menemukan kalau Grace tidak berniat menjawab pertanyaan terakhir.

“Bicaralah, Grace,” pintanya menggenggam tangan gadis itu. “Untuk meneteskan air mata terkadang kita tidak memerlukan alasan. Bukankah air mata yang jatuh bagian dari refleksi hati? Apa kau pernah dengar, kalau seseorang yang tidak pernah menangis mereka akan masuk dalam kategori tidak normal?”

 Sekilas Grace tersenyum tipis, lalu menunduk. Tetapi Dira segera mengangkat wajahnya dan terlihatlah buliran bening sudah menggenang di pelupuk mata. Meski harus tersendat-sendat menahan tangis, dia mampu menguraikan dengan lancar tanpa keraguan sedikit pun karena merasa Dira orang yang tepat. Kenyataan itu dimulai dengan kata ‘keluarga’. Tempat sederhana yang paling ampuh mengatasi penat dunia. Tapi apa jadinya kalau ternyata tidak akan kautemukan harapan itu di sana?

Grace Ellison sangat mengagumi orangtuanya. Sesibuk apa pun mereka tidak akan ada waktu yang terbuang percuma. Bahkan sang ayah rela meninggalkan rapat hanya untuk makan malam di rumah. Di awali menonton film sampai mendengarkan musik, lalu berakhir dengan berdansa. Grace sempat protes ayahnya memberikan album Westlife, boyband yang saat itu digandrungi para remaja. Dia akan lebih suka jika diberikan voucher makan atau tiket turnamen bisbol.

Saat mereka memutar lagu Season In The Sun, Grace menyela, “Astaga, Dad! Kenapa lagu kematian yang Dad pilihkan untukku? Tidakkah ini mengerikan? Sam pasti akan langsung menertawakanku.”

“Ayolah, Honey... dengarkan saja. Ini bukan sekadar lagu kematian,” bantah sang ayah menepuk punggung tangan Grace. “Kau harus melihat sisi positifnya. Dalam keadaan apa pun kami akan selalu menyayangimu. Kau perlu tahu, Sam-lah yang punya inisiatif ini. Kau tahu dia sangat mencintaimu.”

 Dalam waktu kurang dari seminggu hal negatif dari pembicaraan mereka telah Grace temukan. Kepergian ayahnya bukan sekadar urusan kerja, tetapi pria itu justru membawa gadis remaja berwajah Asia ke rumah mereka dan mengatakan kalau gadis itu adalah saudari perempuannya. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan jika sang ayah mempunyai anak dari wanita lain. Grace tampak terpukul ibunya dibawa ke santorium karena mengalami depresi berat mengetahui kabar tersebut.

Lihat selengkapnya