Beban yang semula sudah terangkat ternyata telah keliru diperhitungkan Dira. Sekarang dia harus lebih bersabar karena urusannya dengan Grace belum juga menemukan titik terang. Dia dibuat panik kala membuka pintu ruang rawat tidak menemukan Grace di ranjang.
“Huh, gadis itu benar-benar keras kepala! Tidak bisakah dia menurunkan sedikit saja egonya?” gerutunya sembari menutup pintu. “Pak Made pasti tidak akan menyukai hal ini.”
Nalurinya menolak berpangku tangan karena saat ini kondisi Grace masih labil. Apalagi dia sudah dua kali menemukan gadis itu dalam keadaan mabuk. Tengah hari Dira memutuskan untuk langsung ke kampus setelah mendapat kabar bahwa Dira menjadi pengawas ruang ujian mahasiswa di tingkat awal menggantikan salah satu dosen. Dira merupakan ASDOS dari mata kuliah yang bersangkutan. Baru beberapa langkah, tatapannya terhenti oleh kepadatan di area lampu lalu lintas. Di sana tampak polisi turut mengamankan arus jalanan. Tampak bocah laki-laki berusia sepuluh tahun mendekatinya.
“Sebaiknya Kak Dira jangan lewat ke sana.”
“Lho, memangnya di sana ada kejadian apa, Nando? Apa ada kecelakaan lalu lintas?” tanya Dira setelah mengenali bocah itu merupakan keponakan Pak Made.
“Wah, lebih parah dari itu, Kak!” seru Nando dengan mimik serius. “Semua kendaraan sampai berhenti. Di sana ada turis gila!” lanjutnya sembari memiringkan telunjuk ke dahi seolah ingin menegaskan ucapannya.
Seketika dia merasa tegang, dan ternyata bocah itu sudah pergi entah ke mana sehingga dia tidak sempat bertanya lebih lanjut. Bermacam-macam hal aneh mulai bergelayutan dalam pikiran. Ketika bayangan Grace melintas dalam otaknya, dia bergidik. Mengingat gadis itu kini dilanda masalah. Tidak, cetusnya sambil menggelengkan kepala. Itu pasti bukan Grace! Dira setengah berlari untuk bisa ke tempat yang dimaksud Nando.
Dira sampai menahan napas untuk memastikan sendiri. Hampir saja Dira berteriak kegirangan karena apa yang dia pikirkan tidak terjadi. Di sana ada lelaki bule berpostur atletis dengan rambut pirang sibuk bercakap-cakap pada polisi. Kini dia merasa mata biru cerah itu tampak sedang memandanginya. Apakah dia tadi sudah sempat mengeluarkan suara? Ditatap seperti itu membuat Dira mengambil keputusan segera keluar dari kerumunan berjalan melewati beberapa orang yang berada di sana. Tentu saja dia tidak mau menjadi bulan-bulanan si lelaki bule tersebut.
Saat lampu merah menyala dengan maksud hendak menyeberang, mendadak Dira menjadi was-was. Ekor matanya menangkap sosok lelaki yang sama di tempat tadi berada tidak jauh di belakang. Secepat mungkin dia berjalan teringat akan ucapan Nando. Dia pun menyadari kalau lelaki bule itu tetap saja mengikutinya. Dira berhenti, lalu membalikkan badan.
“What are you doing here? I hope you don’t mean stalking!”
Lelaki itu hanya mengerutkan kening. Tidak mendapat jawaban, Dira berjalan kembali. Lagi-lagi dia dibuat kesal. Demi menghentikan langkahnya, lelaki bule itu menarik tangannya. Dira pun buru-buru menepisnya.
“What do you want from me?”
“Ce que vous avez vraiment parler français?” Apa kau benar-benar bisa Bahasa Perancis? tanyanya menatap Dira lurus-lurus.
Dira tercengang mendengar ucapan si lelaki bule. Oh, ya ampun... jadi dia tidak bisa pakai Bahasa Inggris! keluhnya dalam hati. Pantas saja pertanyaannya tidak ada satu pun yang dijawab. Setelah bercakap-cakap, Dira menolak keras membantu lelaki itu mencari tas ransel hanya dengan alasan tidak ingin menunggu lama. Melapor ke bagian agen perjalanan maupun polisi akan menyita waktu. Setiap orang yang dia temui mengalami kesulitan, sebab tidak semua mengerti Bahasa Perancis. Sampai salah satu pedagang kaki lima melihat Dira berada di sana menyarankan untuk meminta bantuan. Pedagang itu tahu kalau Dira menguasai bahasa asing selain Inggris.
“Aku pikir karena penduduk di negara ini punya jiwa sosial yang besar dan bersikap ramah, aku berlibur di sini,” ucapnya acuh tak acuh masih memakai Bahasa Perancis. “Dan sekarang ternyata perkiraanku salah!”