Dira terpaku menatap layar ponsel. Berkali-lagi dia membuat panggilan tetap saja si operator berkata diluar jangkauan. Baru saja dia dihinggapi rasa gembira begitu panggilannya terhubung dengan nomor Grace. Pikirannya kacau. Kenapa dia tidak mau mengangkat teleponku? Setidaknya biarkan aku mendengar suaramu, Grace. Dira masih terjaga memikirkan apa yang harus dilakukan.
Pukul setengah delapan pagi setelah berpamitan pada Bu Nyoman Dira pergi ke Pantai Kuta. Terbit sebuah harapan kalau dia akan menemukan Grace lewat sambungan telepon itu. Hal sekecil apa pun bagi Dira menjadi sangat berarti. Dia menuju ke Jalan By Pass Ngurah Rai. Sejenak kakinya melambat pada pedal sepeda mendengar petikan gitar dari arah SDN 12 Sanur di Jalan Sanur Kaja. Dalam pekarangan tampak anak-anak sekolahan duduk dengan rapi beralaskan tikar. Dira tidak begitu tahu apa yang sedang mereka lakukan di sana.
Di dekat pagar sekolahan beberapa warga maupun turis juga mengelilingi tempat itu membuat jarak pandangnya terhalang. Rasa penasaran kian memuncak kala suara seorang lelaki menyanyikan lagu yang sudah begitu familiar dalam telinga Dira. I Have A Dream, lagu favoritnya dari Westlife dinyanyikan dengan indah. Ya, lagu itulah pemberi inspirasi untuk membuat mimpi. Seketika Dira tercengang melihat lelaki bermata biru cerah berdiri dari tempat duduk. Ternyata orang yang baru saja bernyanyi adalah Richaud Pierpont. Pertunjukkan itu berlangsung selama setengah jam. Dira sudah cukup mengerti dengan keadaan di sana. Dia pun mengambil sepeda di sudut pintu gerbang. Namun gerakan Dira terhenti karena Richaud telah berada di depannya.
“Gotcha! Sudah kubilang kalau kita pasti bertemu lagi,” sambarnya dengan riang bersandar di pintu. “Aku tidak percaya pada kebetulan. Tapi sekarang aku tidak peduli karena ini berarti akan menjadi awal yang bagus. Apa kau punya pikiran yang sama denganku?”
Dira mendorong sepedanya ke jalan. “Setelah kupikir-pikir, Monsieur,” Tuan, ucapnya memicingkan mata, “aku lebih suka berbahasa Indonesia denganmu.”
Richaud tidak perlu menebak apa yang sedang dipikirkan gadis di depannya itu. Dia sudah tahu Indira dari Pak Made. Sejak melihat Dira di restoran dia ingin lebih jauh mengenalnya. Maka dia pun sengaja mengikuti Dira sampai ke Pantai Sanur, lalu membuat kehebohan di pinggir jalan dengan maksud menarik perhatiannya. Ternyata dia salah menduga. Dira tidak semudah yang dia pikirkan. Hampir saja dia kehilangan kesempatan jika tidak menggunakan Bahasa Perancis.
“Mengenai temanmu itu, apa kau sudah mencarinya ke penyewaan mobil?” tanya Richaud.
“Apa?” Dira berkerut samar. Dia sedikit teralihkan dari amarahnya dengan topik itu.
“Tidak mungkin dia berpergian tanpa kendaraan. Dia pasti ingin privasinya tetap terjaga tanpa diketahui orang lain, bukan?”
Oh, bodohnya aku, pikir Dira tanpa sadar menepuk jidat. Tidak pernah terlintas olehnya untuk mencari informasi ke sana. Richaud masih memandangi Dira. “Kupikir melakukan pekerjaan secara bersama-sama itu lebih menghemat energi. Bagaimana menurutmu?”
Dira tampak berpikir. Dia menyahut, “Ya, baiklah. Tidak ada salahnya.”
Beberapa rental mobil mereka datangi dengan bersepeda. Dira tidak menyukai gagasan pergi bersama. Tapi saat ini dia memang membutuhkan masukan dari orang lain. Terutama menyangkut Grace. Tiba di Jalan Tukad Balian, informasi penting membuat Dira sedikit bernapas lega. Di sanalah Grace menyewa mobil. Hanya sesaat suasana langsung berubah tegang ketika si pemilik rental berkata, “Sepertinya setelah urusan dengan saya selesai, ada masalah berat yang harus membuatnya terancam dideportasi.”
Dira merasa sesak. Deportasi? Sudah lama dia melupakan kata-kata itu sejak berakhirnya UTS di kampus. Membayangkan Grace sekarang berada di kantor polisi dia langsung diselimuti ketakutan. Lamunannya pun buyar dengan bunyi klakson yang memekakkan telinganya. Seorang lelaki melongok ke arah Dira.
“Apa kau mau berjemur seharian di sana?” Dira memandangi mobil Toyota Alphard mewah dinaiki Richaud. “Yeah, ini memang mobil sewaan,” ucapnya lagi. “Percayalah padaku kau akan kehabisan tenaga sebelum bertemu dengannya. Kalau kau tidak segera naik, kau baru saja menghilangkan nyawa orang lain.”
Dira mengernyit, “Apa? Aku?”
Richaud hanya tersenyum tanpa membalas pertanyaan Dira dan langsung melewatinya memasukkan sepeda. Melihat gadis itu belum mau masuk ke mobil, dia berkata, “Kalau kau menolaknya, nyawaku akan melayang di tangan pemilik rental. Bukan itu saja, Pak Made memintaku untuk mengembalikanmu kurang dari 24 jam. Sepertinya mereka lebih memercayaimu daripada uangku.”
Memangnya aku ini barang, pikir Dira. Mau tak mau dia tersenyum. “Baiklah, sekarang giliranmu membuktikannya.”
***
Kali ini Dira harus mengakui kalau dia memang membutuhkan kendaraan yang lebih cepat dan terlindung dari sengat matahari. Richaud menyetir dengan tenang. Bahkan dia merasa heran lelaki itu tahu jalur mana saja untuk menghindari kemacetan.
“Kita sudah sampai!” seru Richaud. “Aku akan menemui temanku di sini. Kurasa dia bisa membantu kita.”
Dira memiringkan kepalanya ke jendela mobil mengamati gedung Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Bali-Biro Hukum & HAM. Mereka masuk ke lantai dasar gedung itu. Richaud mendatangi bagian resepsionis, lalu mengarahkan mereka untuk menuju ruangan Bidang Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa.
“Kupikir kau sudah lupa padaku. Teleponmu tadi mengejutkanku, Sobat!” Suara lelaki berkemeja putih terdengar ramah duduk di balik meja kerjanya, lalu bangkit menghampiri Richaud. “Jadi kau sudah menemukan pengganti Patricia, hah?”