Sesuai dengan kesepakatan, Alan datang bersama Grace ke kampus. Dia membawa surat keterangan resmi pada pihak universitas kalau nama gadis itu sudah bersih dari tindak kriminal, sehingga Grace diberi izin mengikuti UTS susulan.
“Aku ingin mengingatkanmu,” ujar Alan setelah keluar dari ruangan rektor, “jangan bertindak gegabah!”
Alis Grace bertautan. Dia merasa diberi kuliah tambahan kedua dari Alan. Tentu saja dia masih ingat benar apa yang dikatakan oleh lelaki itu saat di kantor imigrasi.
“Mereka sudah lama menunggu kabar darimu,” kata Alan acuh tak acuh sembari menyodorkan surat keterangan padanya. “Kupikir ada baiknya kau tidak begitu saja menuruti emosi. Itu hanya akan memperburuk situasi seperti yang kaualami ini. Aku mengatakan demikian karena aku bertugas sebagai pengacaramu. Jadi kau tidak perlu membantah,” tambahnya melihat Grace akan bersuara.
Jujur dia harus mengakui kalau Alan memang sangat kompeten. Setelah memberikan identitas, lelaki itu langsung berbicara pada pengacara keluarga Grace yang berada di Amerika. Surat keterangan resmi pun berhasil didapatkan bahwa apa yang Grace lakukan hanya sebagai kecelakaan tanpa unsur kesengajaan. Sepertinya apa yang semalam Dira sarankan patutlah dia utarakan pada Alan. Grace berdeham untuk melancarkan tenggorokannya. “Baiklah akan kuingat. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu.”
Alan menggeleng. “Oh, kau jangan salah paham dulu. Sebenarnya aku bukan orang yang gampang melakukan sesuatu tanpa perhitungan.”
Grace pun segera mengerti apa maksud dibalik kata-kata itu. Dia harus merelakan kembali hasil tabungannya. “Berapa yang harus aku keluarkan?”
“Apa semua turis memang lebih suka menghamburkan uangnya, ya?” Alan balas bertanya.
Ternyata bukan, desah Grace. Dia mengembuskan napas lega. Alan kemudian berkata, “Tapi mungkin saja kali ini aku yang akan menghabiskan uang kalau besok kau bersedia makan siang bersamaku.”
Grace menelan ludah tiba-tiba saja napasnya tidak teratur. Lelaki itu meminta hal yang sama sekali diluar perkiraannya.
***
Setelah menyelesaikan hidangan dessert di restoran, Grace melepaskan celemek. Gerakannya teralihkan dengan bunyi ponsel di dalam tas. Seulas senyuman menghias bibirnya melihat nama si pengirim pesan. Alan.
Bisakah kau keluar sekarang? Aku tahu kau sudah selesai, kecuali kalau kau memang ingin berendam di bak cucian.
“Oh, dia benar-benar menyebalkan!” gerutu Grace.
Grace segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum semua orang di dapur mengeluh akibat suara berisik dari ponselnya. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju parkiran. Di sana tampak Alan baru saja menutup hubungan via telepon diiringi wajah serius.
“Aku perlu memberitahumu kalau terjadi perubahan rencana untuk makan siang kita,” katanya buru-buru melihat Grace hendak menyemburkan omelan. “Ada klien yang harus kutemui sekarang.”
“Kalau acaranya batal, kenapa kau malah menyuruhku keluar?” tanya Grace geram. “Kulihat kau punya urusan yang lebih penting dengan klienmu itu, bukan?”
Alan mendecakkan lidah. “Lagi-lagi kau salah menangkap isi ucapanku, Grace! Aku tidak menyebutkan adanya kata ‘batal’. Untuk sekarang aku punya urusan denganmu. Siang ini kau harus membantuku menyiapkan makan malam.”
“Hei, Tunggu! Kau tidak bisa...”