Bagi Grace, Sam sosok lelaki istimewa. Dia memiliki darah blasteran Indo-Amerika. Ibunya wanita pribumi di Pulau Dewata Bali. Selama usia tujuh tahun menetap di sana banyak hal dia peroleh tentang Indonesia. Peristiwa bom bali pun sempat dia lihat. Namun justru itulah masa-masa sulit yang harus dia terima. Sang ibu meninggal dalam kejadian tragis tersebut. Bersama ayahnya dia pun berangkat ke San Fransisco. Baru dua bulan berada di sana mereka pindah ke New York karena ayahnya membeli sebuah perusahaan otomotif. Rumah keluarga Sam hanya terpisah satu blok saja dari rumah Grace. Mereka bersekolah di tempat yang sama. Sam sangat suka bercerita tentang Indonesia, terutama Bali. Berkat lelaki itu pula dia bisa sedikit menggunakan Bahasa Indonesia.
Ketika ayah Sam memutuskan menikahi seorang wanita berusia awal dua puluhan, dia tidak terima karena posisi sang ibu harus digantikan oleh wanita yang lebih pantas menjadi kakak. Ayahnya bahkan mengancam akan mengusirnya. Dia memilih meninggalkan tempat itu dan mencari rumah sewa. Keputusan Sam ternyata berujung pada hal buruk. Dia menghidupi diri dengan berjualan narkotika. Lambat laun dia pun terpikat untuk memakai barang-barang tersebut.
Melihat lelaki yang dia cintai melakukan hal demikian, Grace mendesak untuk segera meninggalkan kebiasaan tersebut. Bersamaan dengan peristiwa dalam keluarganya, Grace memutuskan meninggalkan Amerika. Alasan utamanya menuju Bali pun adalah Sam. Setidaknya dengan begitu dia bisa mengetahui keistimewaan dari kota tersebut secara langsung. Walaupun Grace sangat mengharapkan kelak akan mengunjungi Pulau Dewata bersama lelaki itu. Kini dia pun pergi seorang diri dengan perasaan terluka.
***
Grace menghabiskan waktu lebih banyak di rumah sakit. Dia tidak ingin melewatkan kebersamaan dengan sang ibu. Sam pun turut menemaninya. Kehadiran lelaki itu memberi kejutan atas perubahan yang terjadi selama dua tahun terakhir. Kini dia berada di apartemen Sam untuk makan malam. Selesai mengakhiri obrolannya dengan Alan, Grace segera menyusul Sam di meja makan.
“Aku tidak menyangka akan punya kesempatan bertemu denganmu lagi,” kata Sam sambil memakan salad miliknya. “Aku bahkan selalu berada di depan rumahmu. Berharap kau keluar dan mengobrol seperti biasanya. Aku sangat tolol, bukan?”
Grace tersenyum, lalu menyantap kembali makanannya. “Apa aku telah merusak suasana hatimu?” tanya Sam ragu-ragu.
“Oh, tentu saja tidak,” sela Grace cepat. “Aku hanya memikirkan, Mom.”
“Kau tidak perlu cemas. Serahkan saja padaku. Sejak dulu ibumu sudah seperti ibuku sendiri,” balas Sam menenangkan.
Saran dari Sam benar. Dia harus menahan diri mengajak ibunya kembali ke rumah. Dia juga tidak ingin membiarkan sang ibu tanpa ada yang merawat. Aku tidak boleh bertindak gegabah, pikir Grace.
“Jadi, cerita apa saja yang kaubawa setelah ke Bali?” Suara Sam membawa Grace ke alam nyata. “Kau tahu, Grace, betapa cemasnya aku kalau kau sampai tidak pernah kembali lagi dan ada yang mendapatkanmu di sana! Apa ucapanmu waktu itu masih berlaku untukku?”
Ucapan Sam nyaris saja membuatnya menjatuhkan garpu. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita sebelum kau membuang statusmu sebagai pecandu. Dia merasa dihimpit oleh kata-katanya sendiri. Grace menghela napas. Mengumpulkan keberanian. “Aku tidak ingin menyembunyikan apa pun darimu. Semua itu...”
“Ternyata benar,” potong Sam. “Apa dia orang yang tadi kautelepon? Dia sangat beruntung,” lanjutnya.
Grace bisa merasakan nada kecewa dalam suara lelaki itu. “Maafkan aku, Sam.”
“Ayolah, jangan cemaskan aku. Setidaknya aku bisa menceritakannya pada ibumu kalau ada yang menjagamu di sana,” hibur Sam. “Tapi sekarang aku butuh bantuanmu.”
Kau harus membantuku. Persis yang pernah dikatakan Alan, pikir Grace. “Apa pun itu dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu,” jawabnya tenang menuangkan orange jus ke gelasnya.
“Sebelum kau berangkat ke Bali, maukah kau menghabiskan waktumu bersamaku malam ini?”
Grace tersedak. Dia mengamati sekeliling apartemen. Seolah bisa mengerti pikiran Grace, Sam berkata diselingi tawa, “Jangan punya pikiran aneh, Grace! Kecuali jika kau...”
Grace langsung membelalakkan mata. Namun tawa Sam semakin menjadi. Melihat ekspresi gadis itu belum berubah dia pun meminta maaf, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya menghubungi seseorang. Tidak sampai semenit percakapan itu selesai.
“Ayo, kita berangkat!” serunya sambil memutar kenop pintu.
Grace mengikuti langkah Sam. Mereka berjalan ke arah basement. Lelaki itu tidak berniat mengambil mobilnya di sana. Dia terus melangkah ke belakang apartemen dan berhenti di pinggir trotoar.
“Naiklah! Kali ini tidak akan terjadi kesalahan.”
Grace mengerjap. Sam sudah menyewa vespa antik berwarna hijau toska itu pada pemilik toko roti di seberang apartemen. Dia kembali merasa de javu. Kala itu Sam salah mengambil vespa temannya untuk menjemput Grace menonton pertandingan bisbol. Sampai di pintu masuk mereka langsung diberhentikan oleh petugas keamanan karena dicurigai sebagai pencuri. Terlebih lagi kendaraan tersebut ternyata milik si petugas. Tapi sekarang memang terasa berbeda. Mereka seperti sedang berkencan. Celakanya Grace justru sangat menikmati. Sam tetap memberinya rasa nyaman. Tapi ini tidak benar, pikir Grace. Dia sudah menyematkan nama orang lain. Dia memerhatikan cincin pemberian Alan.
***