Dira menemukan waktu berharga dalam menyalurkan hobi sebagai tour guide, setelah dua bulan menantikan kesempatan itu. Tugas akhir kuliah juga semakin menguras tenaga selaku seorang mahasiswi. Tetapi selama tidak menjalani ritinitas saat bekerja pun, sebenarnya dia bisa menyelami keindahan Bali lewat program studi pariwisata yang dia ambil. Setengah hari dia habiskan mengunjungi Dinas Pariwisata Kota Denpasar, lalu dilanjutkan menemui dosen pembimbing. Terkadang jika Pak Made membutuhkan bantuannya untuk mengaudit keuangan, dia akan menyempatkan diri datang ke hotel, sedangkan Grace menangani badan hukum yang bersangkutan dengan hotel.
Ketika Dira bersiap hendak berangkat, Pak Made menghampirinya bersama Richaud. “Kamu datang tepat waktu, Dira,” ucap pria itu. “Apa kami bisa menambahkan satu penumpang lagi?”
“Tentu saja bisa, Pak,” jawab Dira cepat. “Apa dia punya tempat khusus yang ingin didatangi?”
“Kupikir tidak,” sahut Richaud. Kau bisa bertanya langsung padanya. Ah, itu dia!” tunjuknya ke arah lelaki yang baru keluar dari mobil.
Kenapa semua orang harus mengurusinya, sih? Desah Dira dalam hati. Aku tidak akan membiarkannya kalau dia sampai mengacaukan pekerjaanku! Baru semalam dia memaksakan diri mendengar ocehan panjang lebar Grace tentang Brian yang membantu di bazar. Kini dia harus bertemu langsung dengan mata tajam biru tua dari lelaki itu. Jika saja bukan Pak Made yang meminta, saat ini tentu saja sudah dia tolak. Apalagi dia juga tidak mau orang-orang mempertanyakan profesionalitasnya dalam hal pekerjaan.
Di lain pihak, Brian memiliki pandangan yang serupa. Dia berdebat dengan Richaud sebelum menerima usul darinya. Rencana awal mereka untuk mendiskusikan proyek pembangunan pusat perbelanjaan di Perancis, tertunda karena ada stasiun televisi ingin bertemu Richaud serta Pak Made di galeri. Dia memilih mengalah. Mereka menggunakan mobilnya sebab Bu Nyoman sedang pergi ke luar kota. Dia tidak ingin berdiam diri di vila tanpa mengerjakan sesuatu di sana, sementara dia juga bukan tipe orang yang suka duduk berjam-jam mengikuti acara seperti itu. Jadi hanya tersisa satu pilihan. Yakni, travelling.
Brian mengerutkan kening mengamati kendaraan microbus Pregio yang akan dinaikinya. Dia tidak akan bisa bepergian di tempat pengap sambil berdesakan seperti ini. Ditambah dengan penumpang yang berisi sekumpulan bocah SD.
“Bersikaplah sebagaimana layaknya wisatawan,” gumam Dira datar. “Kau bisa duduk di depan. Itu juga sudah termasuk keringanan,” lanjutnya sambil lalu.
Suara gemuruh tepuk tangan dan nyanyian memenuhi bus. Keasyikan bercengkerama dengan anak-anak mengingatkan Dira akan study tour-nya. Di sebelah sopir dia melihat Brian memasang earphone sambil tetap memakai kacamata riben cokelat. Dira langsung bisa menilai warna kulit putih pucat lelaki itu menandakan kalau terbiasa beraktivitas dalam ruangan. Sangat berbeda dari kebiasaan Richaud yang membiarkan tubuhnya tersengat matahari di alam terbuka.
Mereka tiba di Puri Agung Pemecutan. Rombongan murid SD yang didampingi guru mereka sudah masuk ke gerbang utama setelah memberi arahan pada muridnya untuk tidak berlama-lama berdiri di trotoar. Mereka asyik melihat polisi tengah melakukan penertiban bagi pengendara roda dua dan empat. Melihat anak-anak itu memasuki Puri, Dira juga segera menyusul mereka. Namun sesaat pandangannya terhenti, sebab Brian tidak berniat beranjak dari sana. Lelaki itu justru menikmati pemandangan tersebut.
“Walaupun tindakan mereka tidak benar, tetapi hal itu bukan sesuatu yang patut ditertawakan,” ujar Dira. “Ya, kecuali kalau sisi kemanusian orang tersebut sudah berkurang. Satu hal lagi, baru saja aku melihat orang dewasa yang masih berpikiran seperti anak-anak. Kupikir itulah yang terjadi padamu sekarang."
Brian mengerutkan kening. Mulutnya ingin menyela, tetapi Dira sudah beranjak dari tempat itu. Dia melangkah tanpa tujuan. Tidak mengikuti ke mana rombangan mereka pergi.
"Baiklah kalau itu yang kaupikirkan," Brian menggerutu sembari berjalan ke arah kiri dari gerbang. Berlawanan arah dengan jalan yang dilalui rombongan mereka. Dia masih mengomel di tengah jalan. "Kita lihat saja nanti, siapa yang seperti anak-anak."
***
Dira melihat arlojinya menunjukkan pukul 17.05 WITA. Lelaki itu pergi ke mana saja, sih! gumamnya kesal. Brian belum juga kembali ke parkiran. Lima menit lagi mereka akan meninggalkan Puri. Satu persatu anak-anak mulai menduduki bangku mereka. Dira gelisah di depan bus. Mendadak pikirannya kacau. Dia memang tidak melihat lelaki itu sejak berbicara dengannya tadi siang, tetapi si sopir bus mengatakan kalau dia melihat Brian berjalan-jalan di halaman puri.
Kurang dua menit lagi dia memutuskan untuk masuk mencari Brian. Bukan hanya tanggung jawabnya sebagai tour guide, namun pada Pak Made yang telah memberinya pesan itu. Dira melewati Jaba Bale Gong di sudut barat, ruang untuk menyimpan gamelan kuno. Menurut penjaga puri dia melihat Brian berjalan menuju ruangan itu. Beberapa wisatawan masih berada di sana walaupun tempat ini sebentar lagi akan tutup. Lagi-lagi hatinya bergemuruh. “Tetap tenang dan kamu tidak boleh panik, Dira,” ucapnya menyemangati diri sendiri.
Ada ketakutan mulai merambati dan sama sekali tidak ingin tercetuskan. Rasa takut itu bukan datang pada hal gaib, namun suatu pemandangan tidak lazim untuk dilihat. Sudah dua tahun menjadi pemandu wisata dia hampir mundur di tengah jalan. Setelah mengantar beberapa turis ke hotel, dia dikejutkan oleh adegan intim oleh dua lelaki di dalam toilet yang setengah terbuka. Ketika Pak Made mengetahuinya, dia segera melaporkan pada pihak berwajib. Meski mereka hanya dikenakan sanksi teguran, hal tersebut tentu telah mencoreng reputasi hotel. Tingkat keamanan tempat itu pun semakin diperketat. Saat Dira bersama Pak Made mencari Grace di bar, pria berwajah Jepang yang berusaha menghalangi jalannya, merupakan salah satu dari lelaki itu.
Langkah Dira kembali meragu memasuki komplek puri. Kini dia berada di sebelah utara dapur, tepatnya di bangunan kamar. Menatap pintu di depannya, hatinya segera waspada. Dia menarik napas, lalu memegang gagang pintu. Ketika terdapat sedikit celah, jantungnya serasa melonjak keras karena mendengar suara nyaring dalam suasana hening itu. Barulah dia menyadari kalau asal suara tersebut muncul dari ponsel di tas tangan. Dia bersandar ke dinding mengatur napas untuk mengurangi ketegangan yang baru saja melanda.
***
Tiga hari sebelum tahun baru, Dira serta Grace selesai mengikuti yudisium, lalu di hari berikutnya akan dilangsungkan prosesi wisuda. Segala pikiran dan tenaga yang mereka curahkan kini telah terbayar pada tahap final.
“Kau akan langsung pulang?” tanya Richaud sembari menyodorkan air mineral pada Dira.
“Hmm,” balasnya membuka tutup botol.