Dira masih belum mau beranjak menikmati pesona kota Bali. Matanya dibuai oleh sunset dari jendela geser di ballroom. Selama menetap di sana dia bisa melihat peradaban budaya, tradisi maupun destinasi mengagumkan yang diidamkan kebanyakan orang, termasuk dirinya. Hari ini dia diminta Pak Made ke hotel. Bukan untuk mengaudit, tetapi membantu dalam urusan pelelangan lukisan dari hasil karya Richaud sampai malam tahun baru tiba. Setelah mempersiapkan gladibersih wisuda, Grace sudah sibuk berkutat di area dapur restoran sehingga Dira tidak akan mengganggu waktu sahabatnya yang juga ingin melewati masa-masa di Bali.
“Apa yang kauminta untuk ulang tahunmu?” tanya Richaud sambil menyusun lukisannya.
Dira diam. Berpikir. Dia juga tidak tahu pasti apa yang diinginkannya. Tapi dia hanya menjawab, “Bekerja dengan ayahku.”
Richaud sontak membalikkan badannya. “Hanya itu?”
Dira mengangkat bahu. “Ya, hanya itu. Memangnya apa yang harus kuminta?”
“Mungkin saja menikah,” sahut Richaud ringan. Seolah kata-kata itu memanglah patut dia lontarkan.
Butuh waktu bagi Dira mencerna apa yang baru didengar. “Ke-kenapa kau bisa berpikir begitu?” balasnya dengan suara tertahan.
“Bukankah gadis Indonesia sangat cepat dalam hal menikah?”
Oh, lelaki satu ini sungguh menyebalkan, rutuk Dira. “Informasi mana yang kaujadikan pedoman? Ini bukan hanya menyangkut tradisi, tapi cara berpikir setiap wanita di dunia berbeda-beda. Bukankah sama halnya dengan kaum lelaki? Jadi jangan ....”
“Kalau begitu bagaimana denganmu? Kapan kau akan memutuskan untuk menikah?” desak Richaud.
“Apa?” Dira kembali tercekat. Pertanyaan Richaud yang beruntun semakin membuatnya canggung. Tapi arah pembicaraan ini...
“Aku tahu kau juga punya penilaian sendiri tentang hal itu,” ujar Richaud pelan. “Tapi bagaimana kalau nantinya aku memutuskan untuk memeluk agama yang sama sepertimu, apa penilaianmu akan berubah?” tanyanya dengan sungguh-sungguh.
Kali ini Dira begitu sulit memfokuskan diri. Energinya seakan telah terkuras habis. Dia bukan orang yang bodoh dalam menilai perasaan orang lain.
“Kenapa kalian masih berdiskusi di sini? Para pengunjung sudah mulai protes ingin masuk.” Suara nyaring Pak Made yang muncul secara tiba-tiba justru menyelamatkan Dira.
Sepanjang acara Dira berusaha menghindari tatapan Richaud. Sepulangnya dari hotel dia sempat terkejut karena Grace langsung menatapnya. Dia sudah siap mendengar celotehan gadis itu.
“Apa yang membuatmu mendesah begitu?”
“Aku...,” Dira diam sejenak. “Menurutmu, apa aku harus melihat seseorang yang berpikiran bahwa dirinya tertarik dengan agama yang kuyakini, tetapi menolak untuk mengakuinya?"
Grace berhenti makan kentang goreng. “Oh, jadi Richaud sudah menyatakan lamaran padamu? Dan apa jawabanmu?” tanyanya antusias.
“Grace, tolonglah...," Dira berkata dengan ekspresi memohon.
“Ya, aku tahu tidak ada yang bisa mengubah prinsipmu dalam segi keyakinan,” tukas Grace. “Dan kau juga sudah menduga hal ini akan terjadi, bukan? Dan kupikir Richaud punya maksud baik."
“Richaud, ya?" gumam Dira seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Grace melihat sahabatnya itu melamun. "Apa masih ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Entahlah. Aku tidak ingin menduga. Itu akan berakibat menjadi samar, Grace."
Grace mengernyit. “Tunggu, kau bilang bahwa dia menolak mengakuinya? Kalau begitu, untuk memastikannya, kenapa kau tidak bertanya langsung padanya?”
Dira kembali diam. Dering ponselnya yang berdenyit. Dia mengembuskan napas mengetahui siapa pengirim pesan itu. Richaud.
Jangan terlalu lama mengurung diri di vila. Cepatlah datang.
***
Pergantian tahun memanglah menjadi pusat perhatian di seluruh dunia. Sejumlah harapan turut mengiringi benak setiap orang. Sebaliknya hal itu sekarang tidak lagi terasa penting. Dira tidak bisa menikmati suasana ini dengan lengkap tanpa Grace. Gadis itu sudah lebih dulu meninggalkan Bali. Keluar dari galeri, Grace menghubunginya bahwa dia akan segera berangkat ke Amerika karena ibunya jatuh sakit. Setibanya di vila dia melihat Grace sudah berkemas.