Dalam 24 jam, disadari atau tidak, setiap putaran waktunya pasti ada peristiwa yang melanda di belahan bumi ini. Bukan hanya dari pergantian cuaca─pagi, siang serta malam, tetapi juga pada diri manusia. Sekecil apa pun itu akan memengaruhi dinamika kehidupan baik bersifat positif maupun negatif. Tidak terkecuali dengan gadis bernama Indira Wijaya. Separuh jiwanya seakan turut melayang bersama kepakan sayap kupu-kupu yang kini dilihatnya menikmati kuntum Bougenvil.
Semburat sunrise menerobos ke celah jendela telah dirasakan Dira lima belas menit lalu. Semalaman dia memang tidak tidur untuk menunggu Sang Khalik mengembalikan warna itu sebagai sebuah pengharapan. Dia melihat pagi ini di ruangan bernuansa putih yang berbau dengan obat-obatan, bukan dimanjakan aroma kopi seperti biasa mengisi indra penciuman kala berada di rumah. Ruang rawat tersebut ditempati oleh wanita penerang hidupnya dan melihat sang ibu terbaring di sana akibat serangan jantung. Sudah tiga tahun beliau bertarung dengan penyakitnya. Namun Dira baru mengetahui fakta itu dua tahun lalu ketika dia pulang untuk mengambil kado ulang tahun Grace. Dia begitu terkejut karena ibunya mendadak pingsan saat menjahit.
“Kenapa Ibu tidak menceritakannya?” tanya Dira saat berada di kamar ibunya. “Kalau saja tahu lebih awal, Ra tidak akan meninggalkan kota ini.”
“Kata-kata seperti itulah yang tidak mau Ibu dengar,” jawab Bu Rasti. “Kecemasan dari kalian justru akan membuat Ibu tidak tenang. Jadi jangan pernah punya pikiran demikian. Kamu mengertikan, maksud Ibu?”
“Ibu selalu bisa untuk membuat Ra menjawab ‘ya’,” sahutnya tertawa kecil.
***
Kurang dari lima menit helaan berat dari sang dokter berupa permintaan maaf yang tidak ingin didengar Dira telah meruntuhkan dinding ketegaran. Sebelum tim medis memulai pemeriksaan Dira sudah berada di sisi ibunya. Rehan, Pak Wastu serta suster kesulitan menenangkannya. Dia tidak mengizinkan siapa pun menutupi wajah Bu Rasti. Meski seluruh tubuh sang ibu sudah dialiri hawa dingin, dia belum juga mau beranjak dari sana. Dia hanya perlu rasa damai itu tetap menelusup ke jiwanya. Tidak, Ya Rahman... jangan biarkan Ibu pergi seperti ini? batinnya seraya memohon.
Dua hari lalu Dira masih bisa melihat senyum ibunya, meski hanya sebentar di ruang ICU. Dia tidak ingin mengganggu istirahat sang ibu demi mempercepat proses kesembuhan. Baru dini hari ibunya dipindahkan ke kamar inap.
Lima jam lalu setelah detik-detik menegangkan terlewati, Dira masih bisa merasakan genggaman hangat dari ibunya. Itu terasa singkat. Setiap kali dokter maupun suster memeriksa seakan jantungnya pun ikut melemah bekerja. Bahkan dia tidak berani masuk hanya untuk memastikan semua berjalan dengan baik.
“Ra...,” panggil Bu Rasti.
Sentuhan lembut ibunya membangunkan Dira yang tertidur di samping ranjang. Dia mengerjap menatap sekeliling. Dia hanya sendirian di ruangan itu. Rehan pulang mengantar baju kotor ke rumah. Sedangkan sang ayah melakukan rapat di Kantor Bupati. Melihat Bu Rasti hendak bergerak, dengan cekatan Dira segera mengambil bantal membantu ibunya bersandar, lalu memberikan minum.
“Ibu mau Ra panggilkan Dokter?”
Bu Rasti menggeleng lemah. “Ibu cuma ingin bicara denganmu,” ujarnya pelan dan menyiratkan ketegasan dalam suaranya.
Dira tampak ragu mengingat kondisi ibunya masih lemah. Dia tidak berani menatap wajah Bu Rasti.
“Ibu memercayaimu, jadi seharusnya kamu juga percaya pada Ibu, kan?” tanya Bu Rasti menggenggam tangan Dira.
Dira mengaku kalah. Dia pun mengangguk. Sejenak Bu Rasti diam. Wanita akhir empat puluhan itu telah merasa ada masalah serius di antara suami dan putrinya. Ketegangan mereka semakin terlihat dengan datangnya lamaran. Pak Wastu memang sempat membicarakan hal tersebut sebelum berangkat ke Bali. Namun setelah Dira pulang, suaminya tampak tidak ingin membahas lebih lanjut. Ketika mendengar obrolan mereka, rasa sesak memenuhi rongga dadanya oleh rahasia yang tersembunyi itu.
“Kamu perlu tahu, Ra,” kata Bu Rasti kemudian, “ada cara bagi seorang Ibu untuk mengetahui keberhasilan menilai perilaku putra-putri mereka. Apakah itu kejujuran, kebohongan, kesedihan maupun kebahagiaan. Yakni tatapan seperti apa yang akan mereka tunjukkan padanya. Segala tindak tanduk mereka pula memengaruhi langkah yang akan dia ambil. Tidak peduli berbuah manis atau pun pahit, dia tidak akan pernah bisa lepas menjadi bagian hidup mereka. Baik lahir dari rahimnya atau bukan, panggilan Ibu tetap melekat untuknya. Karena Ibu tetaplah Ibu. Tidak ada kata pensiun untuk menjadi seorang Ibu, kan?"
Bu Rasti berhenti sejenak. Ditatap putrinya dengan sedih. “Tapi sepertinya hal itu belum berlaku bagi Ibu, karena putriku tidak menjadikan Ibunya sebagai orang pertama yang bisa dia temui. Apa Ibu tidak berhak tahu, Ra? Kenapa kamu tidak ingin berbagi dengan Ibu?”
Dira menggeleng. “Maafin Ra karena sudah membohongi Ibu. Dan jangan katakan hal seperti itu. Ra mohon jangan....” Suaranya tercekat bersama isakan.