“Mbak sudah bangun? Waktu subuh sudah mau habis, lho!”
Dira tertegun mendengar suara Rehan. Mengucek mata. Memandang jam di dinding kamar. Sepanjang malam dia terjaga karena pikirannya sibuk berkelana mengatur masalah finansial. Terutama mengenai pembayaran proyek sanggar tari. Tanpa sadar akhirnya dia jatuh tertidur di meja belajar. Ketika membuka pintu, tidak hanya dia merasa terkejut tetapi remaja kurus itu juga merasakan hal yang sama.
“Kenapa masih berdiri di sini, Re?” tanya Dira. Dia pikir, karena suara adiknya tidak kedengaran lagi tentulah sudah pergi.
Rehan tertawa nyengir. “Sebenarnya aku mau minta penjelasan Mbak,” jawabnya sembari menunjukkan map biru yang dia pegang.
“Oh, itu,” kata Dira, “tapi nanti saja kita bicarakan, ya. Kalau sekarang Mbak bakalan benar-benar kehabisan waktu untuk shalat,” lanjutnya berlalu meninggalkan Rehan.
Ketika menginjakkan kakinya ke rumah setelah sekian tahun berada di Bali Dira sudah mempunyai gambaran tentang apa yang ingin dikerjakannya usai kuliah. Seperti pernah dia cetuskan pada Richaud, bisa bekerja dengan sang ayah dan sekaranglah waktunya. Map biru itu berisi proposal yang dia ajukan ke Dinas Pariwisata. Namun dia tahu tidak akan mudah melakukan rencana itu sebab pihak pemerintah daerah telah mengeluarkan surat edaran membatalkan kerjasama atas proyek tersebut. Beberapa staf kecamatan diketahui melakukan penyelewengan dana.
Dira mulai dengan memeriksa kembali buku tabungannya. Dia berhasil memperoleh beasiswa di pertengahan kuliah hingga tingkat akhir. Sebagian uang tersebut memang dia khususkan ditabung, sedangkan gaji bulanan dari kerja paruh waktunya dia gunakan untuk keperluan pribadi maupun kegiatan perkuliahan. Mengumpulkan dana lima puluh juta dalam tiga hari bukanlah hal gampang. Mengingat mereka juga harus membayar biaya perawatan Pak Wastu. Bapak Bupati memberikan waktu cukup singkat. Sebenarnya Keputusan mengenai pinangan itu bersamaan dengan jatuh tempo pengembalian dana.
Sejenak Dira mengedarkan pandangan seisi rumah mereka yang sepi. Rehan lebih sering berada di kampus. Setelah mengetahui rencananya, Rehan membuat ulang rancangan untuk bangunan tersebut. Ketika memasuki gudang dia terduduk di sana cukup lama. Tempat itu bersekat dengan garasi. Sebenarnya lokasi yang dia sebut sebagai gudang hanya sebuah istilah karena merupakan ruang kerja Bu Rasti diisi tumpukan kain. Bahkan dipenuhi aneka peralatan menjahit. Sekarang segala pernak-pernik di tempat itu tidak tampak lagi. Apalagi benda berharga ibunya pun turut lenyap. Dira telah menjual mesin jahit beserta mesin bordiran.
Dira memegang amplop berisikan uang sebesar sepuluh juta. Ibunya sendiri yang menyerahkan uang tersebut padanya sebelum beliau di rawat di rumah sakit.
“Ibu tidak ingin mendengar penolakan darimu,” kata Bu Rasti kala itu. “Anggaplah sebagai hadiah ulang tahunmu. Jadi apa pun yang ingin kamu lakukan dengan uang ini, Ibu sama sekali tidak keberatan, karena Ibu percaya padamu, Ra.”
Uang itu merupakan hasil penjualan perhiasan dan tabungan Bu Rasti. Namun saat mereka mengobrol di rumah sakit ibunya justru meminta hal lain dengan mengatakan, “Maukah kamu menjual benda-benda milik Ibu? Hanya saja Ibu tidak ingin nantinya membuat kalian teringat pada kesedihan."
Saat itu Dira menggeleng. “Lakukanlah kalau waktunya sudah tepat,” ujar Bu Rasti meyakinkan Dira.
Ternyata kini dia melakukan permintaan ibunya itu demi menyelesaikan masalah dalam keluarga. Dia juga menjual laptop dan ponselnya. Satu benda tidak dia ikut sertakan, yaitu ponsel pemberian dari Grace. Uang yang sudah terkumpul telah berjumlah dua puluh juta. Tetapi Dira masih harus membawa uang tersebut secara utuh, sementara waktu terus berjalan cepat. Layaknya jam pasir. Makin menipis seperti butiran pasir yang meluncur ke dasar kaca.
***
Di kantor Dinas Pariwisata Yogya telah berkumpul beberapa staf penting serta Bapak Bupati untuk membahas proposal yang diajukan Dira. Mereka tampak antusias karena hal ini menyangkut kelangsungan proyek besar dalam dekade di awal tahun. Sebenarnya mereka juga ingin mengetahui apa yang akan disuguhkan oleh kedua anak camat daerah mereka itu. Di sisi lain, Rehan terlihat cemas sebab sang kakak sangat sulit dihubungi sejak kemarin malam. Dia ingin sekali pulang ke rumah, namun sesuai kesepakatan, mereka akan bertemu di tempat ini sebelum memulai presentasi.
Gerakan jarum jam sepertinya menambah kegundahan Rehan. Sudah lewat lima belas menit Dira juga belum datang. Dia tidak mungkin meminta tambahan waktu lagi. Ya, dia harus mengambil keputusan melakukannya seorang diri. Dia pun segera mengambil posisi untuk memulai presentasi dari rancangannya. Usai memaparkan materi, Rehan dan orang-orang yang berada di sana dikejutkan oleh kehadiran putra Bapak Bupati bersama Dira membawa pria berkepala plontos yang diketahui adalah kontraktor sebelumnya dari proyek itu.
Setelah terjadi diskusi panjang, diputuskan bahwa pembangunan sanggar tari akan berlanjut, sedangkan dana proyek ditanggung oleh pihak Bapak Bupati karena berusaha menjebak Pak Wastu untuk menjatuhkan posisinya yang akan mencalonkan diri sebagai bupati dalam periode mendatang. Dira meminta agar mereka mengembalikan nama baik ayahnya dan menarik surat pemberhentian kerja. Jika kelak kondisi sang ayah tidak bisa seperti dulu lagi, mereka tetap melakukan hal itu secara terhormat. Kini Dira benar-benar mampu bernapas lega. Bahkan keluarganya tidak perlu membayar uang tersebut.
Rehan tersenyum pada sang kakak. Dia juga bercerita bagaimana bisa membawa kontraktor itu. Dia sangat bersyukur. Kala keraguan merasuk pikirannya, Sang Khalik datang mengulurkan kasih-Nya mengetuk pintu hati Seno, putra dari Bapak Bupati mengungkapkan fakta atas perkara yang dialami Pak Wastu. Usai shalat subuh lelaki itu datang bertamu. Terlebih lagi Dira hanya seorang diri di rumah. Meski tidak mempersilakan masuk dia pun tetap menerima tamunya tersebut untuk berbicara di teras.
“Apa yang mau Mas Seno bicarakan?” Dira memulai percakapan.
Seno tidak segera menjawab. Dia tampak gugup melihat Dira yang bersahaja di depannya. Tampak jelas dia merasa bersalah karena punya andil dalam melakukan hal buruk pada keluarga Pak Wastu agar bisa mendapatkan gadis itu. Sekarang dia tidak peduli lagi kalau ayahnya akan marah padanya.
“Seharusnya aku datang lebih awal untuk meluruskan masalah ini,” sahutnya dengan wajah tertunduk. “Aku berjanji akan menyelesaikannya dan memperbaiki kesalahanku. Tapi aku butuh bantuanmu."