Sunrise mengangkasa begitu cerah di langit nan biru, terasa kontras di cakrawala. Pertanda makhluk di bumi siap memulai hari. Tidak heran ketika pagi muncul maka dunia pun turut bersorak gembira, sebab akan ada berkah dari Tuhan untuk mereka cari. Memunajatkan doa-doa pengharapan. Tampaknya hal itu pun tercermin di negara Turki yang tidak pernah sepi dari sejumlah aktivitas para penduduknya. Dira merasa beruntung dapat secara langsung melihat suasana tersebut, karena datang di Izmir kala musim semi. Daerah itu memang terkenal sebagai salah satu kota terpanas dengan iklim Mediterania-nya.
Ada kebanggaan menelusup di hati Dira saat diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki ke wilayah Konstantinopel yang pernah menjadi kekuasaan Turki Utsmaniyah tersebut. Rasa takjub telah muncul sejak tiba di Attaturk International Airport Istanbul. Meski melakukan penerbangan kembali untuk sampai ke Bandara Adnan Menderes, segala penatnya terbayarkan hanya dengan menatap sunrise bersama peradaban kota itu. Tentu saja dia kelelahan. Ini kali pertama baginya berkunjung ke luar negeri. Tetapi sambutan hangat dari Profesor Rasyid ketika tiba di universitas tempatnya mengenyam pendidikan menambah optimis dalam diri Dira.
"Anadolu'nun batı ucunun metropolü İzmir'e hoş geldiniz," Selamat datang di kota metropolitan ujung barat Anatolia, sapa Profesor Rasyid dalam Bahasa Turki.
"Memnuniyetle. Burada öğrenmek için sabırsızlanıyorum," Dengan senang hati. Saya sudah tidak sabar untuk bisa belajar di sini, balasnya juga menggunakan Bahasa Turki.
Guru Besar itu terpukau, "Oh, rupanya kau sudah banyak belajar, heh? Baiklah, itu artinya kau sudah siap menjadi bagian dari kampus ini."
"Itu harus saya lakukan. Saya tidak ingin kalah bersaing di kampus sebagus ini," jawab Dira antusias.
"Ya, itu benar," balas Profesor Rasyid sembari menuntun Dira agar mengikutinya ke dalam gedung kampus. "Saya sangat senang bisa melihatmu lagi dan khawatir kalau kau sampai menolaknya.”
“Sepertinya saya yang akan dibayangi rasa bersalah kalau tidak bisa mengucapkan terima kasih pada Anda di sini, Sir,” Dira balas tersenyum.
Profesor Rasyid pun langsung tertawa. Usai makan siang, mereka beranjak ke asrama yang akan ditempati Dira. Pria paruh baya itu sangat senang begitu mendapati balasan dari Indira. Gadis itu nenarik perhatiannya sejak berada di Bali. Dia mengagumi keberanian Dira sebagai gadis muslimah menjadi tour guide untuk terjun ke dunia kerja yang didominasi oleh panggung hiburan. Tanpa meninggalkan kearifan islami.
Sudah semestinya juga bagi pria itu untuk melakukan seperti yang Dira lakukan menjadi pemandu wisatanya. Mereka hanya mengitari setengah gedung. Waktu sehari tidak akan cukup untuk mengupas bangunan yang terletak di pesisir Izmir.
Berkat rekomendasi dari Profesor Rasyid segala urusan akademik menjadi lebih ringan. Bahkan beliau telah menghubungi pihak Kedutaan Turki di Jakarta maupun KBRI yang berada di Turki dapat memperlancar Dira memperoleh visa pendidikan. Dira juga tidak menyangka ketika menerima e-mail kalau Guru Besar itu sudah melakukan uji coba padanya sejak mereka bertemu. Selain melakukan riset di Bali, Profesor Rasyid mempunyai tujuan mencari anak-anak muda Indonesia yang memiliki potensi dalam mengembangkan nilai budaya. Dan pilihannya jatuh pada Dira.
***
Memasuki minggu pertama berada di kota metropolitan itu, Dira memantapkan hati serta pikiran mengatur kegiatan sebelum kuliah. Selama perjalanan ke Turki dia menyusun semua daftar yang dirangkum dalam agenda satu tahun ke depan. Ketika hampir rampung, catatan tersebut justru raib. Dia hanya mengingatnya tertinggal di salah satu bandara Turki. Tentu saja dia tidak akan berhenti melangkah. Namun dia harus mengubah peta hidupnya dan menyesuaikan dengan segala program yang ada di kampus.
Dira mengikuti kursus Bahasa Turki musim panas. Kursus tersebut diadakan di berbagai kota seperti Istanbul, Ankara, Izmir, Bursa, Kayseri, Antalya dan Samsun. Pelaksanaan kursus itu mulai awal Juli sampai akhir Agustus. Sesuai anjuran Profesor Rasyid, Dira melakukannya dengan visa turis di Izmir. Lagi-lagi dia memang harus bersyukur karena pemberian majalah beserta CD dari Profesor Rasyid telah mempermudahnya menyerap materi untuk berkomunikasi memakai bahasa resmi negara itu.
Akhir pekan menjadi ajang bagi Dira mengekplorasi pesona kota yang dijuluki Pear of Aegean itu sebelum fokus ke dunia perkuliahan. Dia semakin nyaman berada di sana karena Izmir tidak mengenal kemacetan seperti Istanbul. Perjalanannya dia mulai ke Clock Tower di Konak. Sebuah bangunan kebanggaan serta ciri khas Izmir dengan memadukan arsitektur kuno maupun modern. Dari arah kanan Clock Tower terdapat Konak Pier. Mal yang dirancang oleh seorang arsitek Menara Eiffel Perancis bernama Gustav Eiffel.
Dira melanjutkan perjalanan ke stasiun kereta Basmane melalui metro Konak untuk mengantarkannya ke Ephasus (Efes) bagian dari Selcuk. Sebuah bangunan tua yang menyimpan sejarah peradaban kerajaan Romawi di masa Yunani klasik terbesar kedua setelah Roma. Tempat ini pernah dikunjungi oleh Ratu Mesir Cleopatra dan juga merupakan gambaran dari keeksotisan Turki sebagai kota dengan akulturasi budaya Asia maupun Eropa. Ada beberapa bangunan megah berdiri di sana, seperti Gereja St. Jean Church, Masjid Isa Bey, Archeology Museum hingga Celsus Library.
Sebelum kembali ke asrama, dia memutuskan menggunakan waktu yang tersisa ke Pantai Izmir. Hobi memandangi hamparan air sulit untuk dia hindari. Keindahan pasir putih serta terpaan angin yang menyerbu kawasan itu mampu mengusir penat juga segala keluh kesah, seperti saat di Bali. Mengingat suasana tersebut membuat pikirannya melesat pada Richaud dan kejadian di sana. Dira menggeleng pelan, “Tidak. Kamu harus tetap fokus, Ra,” gumamnya sembari berlalu dari tempat itu.