Beberapa bulan terakhir menjadi masa-masa melelahkan sekaligus menyenangkan bergulat oleh tugas kuliah. Dira hampir melupakan kapan terakhir ke restoran, belanja, apalagi soal makan. Bobot tubuhnya menurun drastis. Kegiatan kampus sangat menguras seluruh perhatian. Sampai di tahun pertama akan berakhir, dia mendapatkan sepucuk surat dari tanah air. Belum membukanya saja dia sudah gemetar. Rasa cemas telah mendera sejak Rehan berbicara lewat skype dengannya.
“Apa pun bingkisan yang nantinya sampai ke tangan Mbak, aku mohon tetaplah istiqomah,” ujar adiknya kala menutup percakapan mereka.
Dua hari setelah ber-skype, Dira menerima sebuah paket. Di dalamnya ada amplop cokelat. Dia membacanya di ujung rak perpustakaan. Ekspresi Dira berubah oleh rangkaian huruf alfabet dengan tinta hitam yang sudah begitu akrab baginya. Seulas senyum terkulum di bibir mengetahui surat itu merupakan tulisan tangan Pak Wastu, ayahnya.
Untuk Ra, Putriku Tercinta
Assalamu’alaikum wr. wb
Kamu tahu, apa yang Ayah pikirkan ketika melihatmu melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah kita? Memanggilmu, Ra! Ya, tapi sayangnya Ayah terlalu angkuh untuk sekadar mengeluarkan satu kata saja. Namun keangkuhan tersebut malah melemahkan tameng yang Ayah bangun di depan kalian. Terutama padamu, Nak! Ternyata saat segala sesuatunya dimulai dengan kebohongan tetaplah tidak akan berjalan mulus. Tentu punya kelemahan dan hal itu terjadi pada Ayah.
Tidak seharusnya Ayah melimpahkan rasa kekecewaan tersebut padamu. Ayah bersikap kejam padamu. Hanya karena ikatan persahabatan kami, putriku menanggung luka yang sangat besar. Betapa bodohnya ayahmu ini. Kamu pantas membenci Ayah. Kalau kamu ingin bertanya kenapa harus melalui surat? Jawabannya adalah dirimu, Ra! Ayah tidak mampu memandang matamu. Mata bening penuh kejujuran yang mengambil tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Ayah merasa malu di hadapan kalian. Tetapi Ayah tidak pernah menyesal telah melepasmu dari jangkauan, sebab di mana pun kamu berada doa kami akan selalu tercurahkan untukmu. Takdir dari skenario Gusti Allah tentang jalan hidup tidak akan pernah keliru dalam menentukan kebahagiaan hamba-Nya. Maafkanlah Ayah yang sudah terlambat menyadarinya. Satu-satu penyesalan dari orang tua ini karena telah membuatmu terluka dengan meragukanmu. Maafkanlah, Ayah, Ra...
Wassalam,
Seorang Ayah yang merindukan putrinya.
Genangan air mata Dira tidak mau berhenti sepanjang membaca deretan tulisan tangan itu. Dia meremas sajadah yang dikirim sang ayah. Hadiah pertama dalam menunaikan shalat ketika dia berusia lima tahun. Untuk kali kedua dia harus merasakan sakit ditinggal oleh orang tercintanya. Kini dia benar-benar sendiri. Tanpa orang tua.
Bersamaan deru tangis Dira, Madame Eliya yang baru saja tiba di sana dibuat terkejut. Dia dengan jelas bisa mendengar suara isakan seseorang. Saat itu jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam dan waktunya perpustakaan untuk ditutup. Dia mendapati sosok berkerudung biru muda yang begitu dikenalnya menangis sambil menenggelamkan wajah pada kedua lututnya. Tanpa banyak bicara wanita itu segera mendekap Dira.
“Meski aku tidak mengerti mengapa kau begini, tapi menangislah sepuasmu hanya untuk hari ini saja, Sayang,” ucap Madame Eliya.
***
Awan putih menggumpal tipis menyelubungi warna biru cerah langit. Perlahan-lahan mereka memisah, lalu bergerak menutupi bagian langit yang belum terjamah oleh bentuk kapas itu. Mereka seakan sedang menjelajah. Menyapa setiap kali bertemu dengan gumpalan lainnya atau sekadar mencari tempat persinggahan. Putih dan cantik, bisik Dira. Dia masih sibuk mengamati lukisan indah di angkasa yang sangat sempurna diciptakan Sang Khalik. Sesekali hanya sorot matanya menerawang ke segala arah. Dira sampai tertegun mendengar ponselnya berdenyit di sofa.
Dia melihat layar. Menarik napas dalam-dalam. “Apa jadwalku hari ini sudah tiba untuk memberikan informasi padamu, Grace?”