Romantic Destination (Found You)

Alita
Chapter #17

Dirinya yang Lain

Dira menatap layar ponsel dengan bingung. Tidak berapa lama terdengar pesan masuk lagi.

Aku juga sudah memberitahu Profesor Rasyid untuk bertemu di ruangannya. Dan maaf karena tidak meminta persetujuanmu lebih dahulu.

Bukan kali pertama mereka melakukan komunikasi seperti ini membahas masalah kerja. Tapi kini Dira merasa isi pesan itu terkesan pribadi dan membuat perasaannya begitu gugup. Dia tahu kalau selama di chat room lelaki itu bersikap terbuka, sekaligus menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Tentu hal tersebut tidak lepas dari rasa waspada terhadap segala sikap lelaki yang berdomisili di Kanada itu.

“Berhati-hatilah dengan pesonanya, Dira,” kata Profesor Rasyid kala Dira hendak melakukan magang. “Dia itu lelaki single dan belum menikah!"

Guru Besar itu menambahkan dengan nada serius, "Apa kau tahu alasan klise anak muda tampak murung karena cinta? Itu tidak lain karena patah hati."

Alis Dira terangkat heran oleh kalimat peringatan itu. Profesor Rasyid seolah bisa membaca pikirannya, lalu berkata, “Oh, kau jangan keliru. Walaupun kami bersahabat, tentu saja perbedaan usia kami terlampau jauh. Usianya setahun di atasmu. Sepertinya dia melampiaskan sakit hatinya itu pada pekerjaan."

 Jemari Dira ragu menekan tombol di keypad. Tidak, batinnya. Kata terima kasih sudah cukup. Dia menikmati kembali hidangan di piring. Dia memandang sekeliling flat dan bergidik ngeri. “Tempat ini terlalu luas untuk ditempati seorang diri,” gumamnya.   

Tentu saja Dira berpikir demikian. Flat dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi yang berada dalam kamar utama dan di dekat dapur. Bar kecil menyatu bersama ruang tamu dengan balkon menghadap ke arah laut Aegea terasa memang sempurna. Tidak bisa dipungkiri kalau tempat itu sangat kondusif sebagai tempat belajar dan mencari suasana baru. Dia hanya perlu membayar tagihan biaya listrik air, gas, kebersihan juga keamanan setiap bulan tanpa mengeluarkan sewa. Baginya tetap saja hal tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan. Terlebih lagi diberikan untuk seorang International Student. Dia menilai apakah Mr. Claude melakukannya pada semua orang? Ataukah dikhususkan terhadap kategori tertentu saja? Tidak, tidak, gumamnya. Apa yang kamu pikirkan, Dira? Buang jauh-jauh pikiran seperti itu. Tugasmu di sini untuk belajar.

***

Berkali-kali Dira melihat arlojinya yang telah bergerak ke angka sembilan. Pagi ini dia benar-benar tidak punya waktu untuk memandang sang fajar. Oh, dia juga menjadi sulit menyiapkan sarapan. Semua karena berita kedatangan si tuan rumah, Mr. Claude. Langkahnya melambat mendekati ruang Profesor Rasyid. Dia melongo mendapati ruangan itu sepi. Tidak terdengar suara siapa pun. Barangkali mereka sedang berada di luar karena tas Profesor Rasyid sudah ada di meja. Untuk melakukan pertemuan tersebut saja entah mengapa dia merasa ingin ke toilet.

“Ah, ternyata kau ada di sini,” kata Profesor Rasyid ketika bertemu Dira di depan pintu. “Masuklah. Claude sudah ada di dalam. Saya akan bergabung dengan kalian setelah memenuhi permintaan ibumu itu,” sambungnya sambil berlalu ke arah perpustakaan menemui Madame Eliya.

Dira mengembuskan napas sebelum memasuki ruangan. Tidak lupa pula membaca bismillah seakan sedang mengikuti sebuah audisi. Dia berhenti sebentar melihat seorang lelaki bersetelan jas hitam tampak menekuni surat kabar harian Turki duduk di depan meja bundar Profesor Rasyid. Dia menaksir lelaki itu memiliki postur tubuh ideal dengan potongan rambut spike. Meski memunggunginya, Dira bisa menduga kalau Mr. Claude memang sangat memperhatikan soal penampilan. Apalagi parfum beraroma kayu manis yang dipakainya mendominasi ruangan.

“Selamat datang di Turki,” ucap Dira mendekati eksekutif muda itu. “Senang bisa bertemu Anda Mr...”

Dira tidak bisa melanjutkan kalimatnya ketika bola mata mereka bertemu. Seketika senyumnya lenyap dan mundur teratur sambil memegangi pinggiran meja. Ada jeda cukup lama melingkupi ruangan itu. Bahkan rona wajah Dira yang semula segar kini tampak memutih. Tubuhnya membeku seperti tidak teraliri oleh darah. Dia mengenali sosok di depannya yang tidak asing lagi. Seolah dia kembali diingatkan kisah pilunya berada di Pulau Dewata. Seseorang yang ingin dihapus dalam ingatannya. Sosok tersebut adalah Brian.

Saat ini mata biru tua milik Brian tengah menatapnya. Lelaki itu diam tanpa ekspresi. Bibir Dira membuka ingin berkata, namun suara Profesor Rasyid membungkamnya.

“Kau baik-baik saja Dira?” tanya Profesor Rasyid cemas memandangi Dira, lalu melirik ke arah Brian dengan pandangan curiga, “Apa yang sudah kau lakukan, Claude? Apa kau memarahi dan membuatnya takut?"

"Aku ...," Brian menjawab.

"Ah, ini," sela Dira sembari meringis menunjuk perutnya, "saya pikir pencernaan saya sedang bermasalah dan tidak sengaja kambuh di saat bertemu Mr. Claude."

Profesor Rasyid berkata memastikan, "Begitukah? Tapi jika kau memang kurang sehat kita bisa menundanya. Bagaimana menurutmu, Claude?"

“Ya, saya pikir begitu," balas Brian.

“Tidak perlu,” tukas Dira cepat. “Saya tidak ingin menyita waktu Mr. Claude lebih lama di sini. Bukankah Anda juga harus segera berangkat ke Tokyo?”

Mereka bertiga duduk di sofa. Dira telah sepenuhnya menguasai diri. Dia tidak bisa begitu saja mundur di depan Profesor Rasyid. Bukankah ini bagian dari pekerjaannya?

Ketenangan yang dipertahankan Dira selama satu jam itu tidak bertahan lama. Konsentrasinya terpecah akibat ucapan Prof. Rasyid kala menutup pertemuan mereka.

"Istriku mengajak kalian makan malam di rumah. Aku sarankan kalian berdua menerimanya jika tidak ingin mendengar omelan panjang dari Nyonya Besar itu."

***

Bagi Dira malam terasa sangat cepat datang. Sejak sore dirinya sudah berada di kediaman keluarga Ahmed. Usai pertemuan mereka tadi pagi, Madame Eliya langsung menodongnya untuk ikut mencari bahan makanan di supermarket. Bahkan wanita itu dengan ceria mengantar ke apartemen, menyuruhnya berganti pakaian. Logikanya memberi sinyal penolakan, namun bagaimana dia bisa melakukan hal tersebut saat melihat antusiasme dari Madame Eliya?

Sekarang kursi di depan dan samping Dira telah terisi. Dia hanya menanggapi beberapa percakapan perihal pekerjaan dan kegiatan kuliah. Profesor Rasyid bercerita seputar hobi memancingnya. Sembari mendengar perbincangan mereka. Sel sarafnya bekerja. Berpikir. Apakah Richaud, Grace, atau yang lain pernah menyebut nama lengkap maupun hal lain dari Brian? Dia tidak punya ingatan sama sekali mengenai hal itu.

Lihat selengkapnya