Romantic Destination (Found You)

Alita
Chapter #18

Kali Kedua

“Kau ingin menjadi siapa, Grace?” tanya James Ellison pada sang putri saat berusia lima belas tahun. “Aku harap kau tidak mencoba peruntungan sebagai pengamat kepribadian orang lain.”

“Usul itu boleh juga,” kata Grace setelah berpikir. Sebenarnya dia sudah menyiapkan rencana itu. “Aku bisa mencoba membantumu dengan hal itu, Dad. Ya, dengan begitu aku akan mengatur atau menyelesaikan masalah di kantor.”

James hanya mengangkat alisnya. “Aku akan menjadi konsultan hukummu, Dad!” seru Grace dengan yakin. “Bukankah aku bisa menjadi mata-matamu?”

Ayahnya terbahak-bahak seperti sedang menonton sebuah lelucon yang muncul di film komedi. Tentu saja Grace dibuat kesal.

“Oh, baiklah, Sayang... kalau begitu kau harus melakukannya dengan serius,” ujar James dengan mimik serius pula.

Apakah kata-kata yang terucapkan pada ayahnya itu sekarang sudah membuatnya berdiri dengan yakin? Ya, dia memang telah menjadi seorang ahli hukum perusahaan. Dia bekerja di salah satu biro hukum ternama di New York. Tentu tidak langsung menikmatinya dengan mudah. Sejak memutuskan untuk menetap di negara Paman Sam, dia telah berjanji memulai dari awal. Termasuk mengurus sang ibu serta berkarier. Grace sangat bahagia melihat kondisi sang ibu semakin membaik. Dia membawa ibunya kembali ke rumah. Mereka dapat berlama-lama mengobrol.      

Suasana hati Grace cepat berubah seiring dengan pekerjaan yang dia jalani. Bukankah ayahnya pula yang mendorong menjadi ahli hukum? Melihat senyum mom dia kembali teringat akan pengkhianatan James Ellison. Bahkan dia ingin sekali dengan tangannya memenjarakan pria itu saat mereka bertengkar di pintu apartemen. Dia sempat berpikir untuk mengambil hukum pidana. Lagi-lagi dia mengurungkan niat karena mengingat pernyataan James di rumah sakit pada sang pengacara. “Dia tidak akan bisa jauh dariku. Anak itu masih terlalu muda untuk memahami dunia di luar sana."

  Grace tidak bisa menerimanya. Hal Itu sama saja seperti cemoohan karena meremehkan kemampuannya. Namun entah mengapa berkat kata-kata tersebut pula dia mendapat kekuatan. Dia menemukan sahabat, cinta, serta pengalaman hidup. Sampai kembali ke negara asalnya pun dia masih diberi kesempatan mendapat rasa nyaman bersama seseorang yang dia kagumi sejak dulu, Sam Andrew.

***

Grace sangat beruntung ada Sam yang selalu bersedia meluangkan waktu hanya untuk sekadar menjadi teman ngobrol. Sam memberikan segala solusi dengan cepat tanpa merasa terganggu atas keluhannya. Mereka bergantian menemani Mrs. Ellison ke rumah sakit melakukan cuci darah akibat kerusakan ginjal. Lelaki itu pula mengantarkan Grace untuk interview. Ketika mendapat kabar kalau dia diterima, tanpa sadar dia mendekap Sam lalu membisikkan kata-kata yang membuatnya menahan rasa malu dan langsung melepaskan diri.

“Kau memberiku banyak kebahagiaan. Aku bersedia kalau kau ingin meminta bayaran.”

 “Sepertinya aku harus menunggu waktu yang tepat,” sahut Sam mengedipkan mata.

Grace menggigit bibirnya. Dia sudah salah bicara. Sam justru tertawa. “Aku harap kau tidak sedang berpikiran yang aneh, Grace. Berkonsentrasilah pada pekerjaanmu.”

Pipi Grace merona. Dia menyukai kata-kata itu. Keesokan harinya benar saja, sistem under pressing yang diterimanya dari biro hukum itu tentu mengundang konsentrasi luar biasa. Dia harus rela meninggalkan jatah weekend untuk bisa berlama-lama dengan mom juga Sam. Setelah proses yang cukup panjang tersebut dia mendapat kemitraan menjadi partner di tempat bergengsi itu. Ternyata rasa bahagia Grace diiringi tangisan kepergian sang ibu menuju peristirahatan terakhir. Dia tidak mampu berpikir jernih selama dua minggu. Dia bahkan jatuh sakit dan tidak mau mendapat perawatan di rumah sakit.

“Aku bisa merasakan kesulitan yang kaualami, Grace. Aku pernah berada di posisimu,” Dira mengawali kalimatnya dengan hati-hati. “Aku tahu kau bukan tipe orang yang gampang terbawa suasana. Tapi untuk sekarang...”

Dira mendesah berat. Grace mengalihkan wajahnya dari layar. Komunikasi via skype yang mereka lakukan seolah terjadi hanya satu arah dan terhambat karena gadis itu sama sekali tidak memberi tanggapan apa pun.

“Baiklah, kau pernah berkata padaku kalau kita tidak akan sejalan jika sedang memperdebatkan sesuatu. Sekarang aku ingin menanyakan satu hal padamu.”

Lihat selengkapnya