Malam yang semula penuh gemintang telah digeser pekat. Tanpa celah sembulan sinar sedikit pun berarak di cakrawala. Tiupan angin semilir menelisik tirai jendela kamar tidur Grace yang masih terbuka membuatnya bangun dari lamunan. Dia tidak ingat sudah berapa lama berada di kamar. Dia bangkit seraya memejamkan mata dan mengembuskan napas dengan perlahan. Merasa tenggorokannya kering, dia menuruni tangga. Grace sontak membelakkan mata kala mendapati sosok lelaki duduk di sofa ruang tengah.
“Apa yang kautunggu di sini, hah?” tanya Grace ketus. “Oh, atau kau masih mencari semua barang-barangmu yang sudah kauselundupkan di rumahku?”
“Ti-tidak. Bukan itu. Aku menunggumu untuk memaafkanku,” balas Sam meraih tangan Grace. “Beri aku kesempatan. Apa yang harus kulakukan agar kau mau memaafkanku? Aku tetap ingin bersamamu, Grace. Jangan tinggalkan aku."
Grace menepis tangan Sam. “Cukup! Kuminta segera tinggalkan rumahku sebelum polisi datang ke sini. Kau itu sudah menjadi buronan. Jadi, kau tahu di mana pintunya, bukan?”
Sam bisa melihat keseriusan dalam suara Grace. Gadis itu hendak meraih gagang telepon. Dia menggertakkan giginya sambil berjalan ke pintu. Ketika dilihatnya lelaki itu sudah menghilang dari pandangan, Grace langsung menutup dan menguncinya. Dia menghabiskan segelas air hanya dengan sekali tenggak saja. Meskipun rasa hausnya menghilang, dia tetap dicekam kekhawatiran kalau Sam akan datang kembali. Dia mengamati seluruh penjuru rumah lalu memastikan semua aman. Dia beranjak ke kamar ingin beristirahat.
Sampai dini hari, Grace berusaha menutup mata rapat-rapat. Hujan di luar sana pun sudah reda. Kenapa dia begitu mudah menerima semua perlakuan Sam? Dan tidak terlalu menanggapi ucapan yang Dira lontarkan padanya.
“Kau sudah memastikan kalau Sam benar-benar sudah lepas dari obat terlarang itu kan, Grace? Kau tahu aku sangat menginginkan ada laki-laki yang mampu membahagiakanmu.”
“Dia yang terbaik,” jawabnya tegas.
Kini ketegasan itu berujung pada sayatan di hatinya. Supaya bisa tidur, Grace melakukan olahraga kecil seperti cardio, dengan lari di tempat, sit-up. Hingga berganti ke meditasi, yakni yoga. Dia menatap jam dinding bergerak pada angka empat pagi. Keringat pun terasa membanjiri tubuhnya. Grace memilih mengistirahatkan dirinya untuk mandi.
Selama satu jam berendam di bak mandi, membuat perutnya keroncongan. Dia berjalan ke lemari pendingin. Meraih sayuran hijau. Hari ini dia ingin memanjakan lidah--menikmati makanan. Dia juga telah memberitahu firma hukum tempatnya bekerja. Mengirimkan berkas kasus, serta pemberitahuan untuk mengambil cuti. Meliburkan diri. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Dan dari semua kegiatan yang dia lakukan hingga sekarang, tidak berhasil memberi efek rasa kantuk.
Pikiran Grace melayang jauh pada sahabatnya, Indira. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja ruang tamu. Menarik napas panjang, mengembuskannya dengan perlahan sebelum menekan simbol telepon ke nomor kontak ponselnya. Saat ini dia tidak peduli kalau harus mendengar omelan panjang dari Dira. Mengganggu waktu tidur. Napas memburu menanti sambungannya terhubung.
"Hei, Grace..."
Tatkala mendengar suara Dira di seberang sana, tanpa mampu ditahan, dia sudah terisak lebih dulu.
Dira kembali bersuara, “Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau menangis, Grace?”
Hening sejenak. "Bicaralah dengan perlahan. Aku mendengarkanmu," ujar Dira memberi saran.
Grace mengikuti instruksi dari sahabatnya. Suara Dira memberikan efek positif baginya. Dia bercerita dengan lancar. Perkiraan bahwa sahabatnya itu akan marah meleset sebab yang keluar justru kata-kata melegakan, “Datanglah ke Turki, Grace. Temui aku di sini.”
***