“Hanya dengan satu suntikan kita tidak akan terpisah, Honey ... Kaudengar? Satu saja, dan kau akan menjadi milikku selamanya!"
Sepersekian detik dari ucapan Sam, Grace bisa mendengar suara keras seperti ada yang terbanting. Perlahan dia membuka mata. Tampaklah tubuh Sam tersungkur di tanah. Dia masih tertegun dengan kejadian yang tiba-tiba tersebut. Tidak hanya itu, sekarang dia melihat seseorang tengah melepas ikatan dari tangannya. Dia tidak bisa melihat secara jelas siapa lelaki ini disebabkan kurangnya penerangan. Tapi Grace merasa kalau si lelaki pendatang melihat postur tubuhnya berbeda dari kebanyakan penduduk lokal sini. Ketika ikatan hampir terlepas, sentakan yang dilakukan oleh Sam dengan menarik tas ransel lelaki itu membuat gerakan lelaki tersebut terhenti dan berguling.
Tidak tanggung-tanggung, Sam melayangkan pukulan keras ke wajah lelaki itu hingga di sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Meski sempat terdorong ke tembok, lelaki itu tampak belum kehilangan kekuatannya, lalu menghantam tinju ke perut Sam. Sambil mencengkeram kerah jaket Sam yang meringis kesakitan.
Dia berkata pada Grace, “Cepat telepon polisi!”
Kebingungan melanda Grace. Setelah melepas semua ikatan dari tangan dan kakinya, sedari tadi dia hanya mengamati dua lelaki itu berkelahi. Dia segera menjangkau ponsel dalam saku jeans. Oh, celaka, keluh Grace melihat ponsel itu ternyata mati. Seakan mengerti dengan kepanikan Grace, lelaki berkemeja tersebut sudah berbicara lewat ponselnya. Dalam hitungan menit mobil polisi sudah tiba. Mereka segera membawa Sam dalam mobil.
“Terima kasih sudah menolongku,” kata Grace ketika mobil polisi sudah pergi. Malam ini dia bisa beristirahat. Besok polisi akan meminta keterangan darinya.
“Itu sudah seharusnya,” sahut lelaki itu sembari membantu memunguti belanjaan Grace tanpa menoleh. “Cepat pulang dan obati tanganmu,” dia menyerahkan tas plastik kepada Grace.
Kini wajah mereka berhadapan di bawah sorot lampu yang tepat di atas mereka. Lelaki itu tampak mengernyit memikirkan sesuatu. Menyiratkan penuh arti ke arahnya. Grace segera waspada jika lelaki ini akan berbuat buruk. Tapi dia melihat lelaki itu kemudian mengembangkan senyuman.
“Mbak, Grace!” panggil lelaki itu.
***
Kenapa ponselnya harus mati, sih? rutuk Dira. Apa yang sedang kaulakukan, Grace? Sekarang Dira duduk di ruang tamu dengan gelisah menatap laptop menuntaskan pekerjaan hotel. Dia tidak bisa fokus. Kalau memang sekadar berjalan-jalan ke pasar, seharusnya sejak tadi Grace sudah pulang. Lima menit kemudian dia mendapat kabar dari penjaga pintu apartemen bahwa sahabatnya itu tidak sendirian menaiki lift melainkan bersama seorang lelaki. Tentu saja hal tersebut membuat Dira bertanya-tanya siapa lelaki itu?
Mungkinkah Sam? Tapi tidak mungkin Grace dengan sukarela berjalan bersama lelaki yang sudah menyakitinya, kan? Grace juga sama sekali tidak memiliki kenalan di Turki. Ya, Rahim, jangan sampai Grace berkenalan dengan lelaki yang akan menjerumuskannya di sini! Itu tidak boleh terjadi. Bunyi bel di pintu mengakhiri imajinasi Dira. Dia bergegas membuka pintu.
“Kau dari mana saja? Hampir saja aku akan menelepon polisi,” Dira langsung mengeluarkan suaranya.
"Aku bahkan sudah bertemu mereka," Grace menjawab pelan.
"Apa? Bagaimana itu bisa..."
Dira menggantungkan ucapannya. Sejenak dia menajamkan pandangan saat melihat seseorang di belakang Grace. Dia bisa segera tahu meski terdapat luka lebam di sudut bibir, tidak mengurangi wajah Asia Tenggara dari lelaki itu. Terlebih sangat akrab bagi matanya. Melihat lelaki berkulit sawo matang itu selama dua puluh lima tahun hidupnya.
“Rehan?” ucap Dira penuh tekanan menyebut nama adiknya tersebut. Dia memandang secara bergantian dua orang di depannya itu. “Aku butuh penjelasan dari kalian nanti. Sekarang masuklah dan obati luka kalian.”
Beberapa saat tidak ada percakapan di flat itu setelah Grace bercerita mengenai kejadian yang baru saja dialaminya. Dira meninggalkan Grace yang tertidur pulas di kamar. Dia melihat Rehan duduk di sofa mengompres memar di bibirnya. “Masih sakit, Re? Sini, biar Mbak bantu.”
Rehan mendongak menatap kakaknya sambil tersenyum menenangkan. “Jangan cemas begitu dong, Mbak. Ini cuma luka kecil, kok.”
Melihat kakaknya hanya diam. Rehan berkata meyakinkannya, "Besok pasti sudah sembuh. Sekarang yang aku butuhkan hanya makanan. Aku sangat lapar."
"Baiklah," jawab sang kakak akhirnya.