“Mbak menyesal karena sudah bertindak terlalu cepat,” keluh Dira pada adiknya di tempat parkir Izmir Wild Life Park.
Kakak-beradik itu sudah berada di sana dua puluh menit yang lalu dan sekarang tempat tersebut telah ditutup tepat pukul 19.30 pm hanya untuk mencari Grace. Mereka tidak menemukan Grace di apartemen sejak pergi bersama Rehan. Padahal gadis itu mengatakan kalau akan segera pulang setelah dari sana. Kekhawatiran makin beralasan sebab menurut penjaga keamanan apartemen, Grace keluar terburu-buru sambil menangis. Bahkan dia juga tidak membawa mobil. Kesimpulan Dira ternyata akan berdampak buruk terhadap sahabatnya.
“Aku punya kabar baik untukmu,” ujar si penjaga apartemen tersenyum lebar pada Dira. “Sepuluh menit yang lalu temanmu baru saja pulang. Dia...”
Penjaga apartemen bernama Osman itu menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat Dira berpamitan dan masuk ke lift disusul Rehan sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di lantai tiga. Dira segera menekan sederet angka dengan cepat di papan pintu.
“Alhamdulillah... syukurlah kau sudah pulang, Grace!” serunya mengembuskan napas lega.
Tatapan Dira beralih ke arah wanita cantik setengah baya di samping Grace. “Madame? Kenapa bisa ada di sini?” tanyanya heran.
Mereka berkumpul di ruang duduk. Ketegangan sangat terasa di ruangan itu. Rehan mengamati Grace yang terdiam dengan wajah tertunduk sambil meremas jemarinya erat. Madame Eliya-lah yang sedari tadi menjawab pertanyaan Dira. Tangan Dira lalu meraih selembar kertas di atas meja.
Aku senang karena surat ini sekarang sudah berada di tanganmu, Grace. Itu artinya tiba waktunya melepaskan statusku sebagai ibumu. Tidak, lebih tepatnya ibu angkatmu. Demi Tuhan, betapa sulit kata-kata tersebut harus kuucapkan di hadapanmu, Sayang. Kau pasti bertanya-tanya apa yang sedang aku bicarakan. Biarlah jika nanti kau menganggapku sebagai pencuri karena sebutan itu sangat kontras dengan apa yang kulakukan pada kalian. Namun ketika kau menyebutkan nama ’Mom’ untukku sungguh sebuah kata paling indah dan istimewa di telingaku.
Aku bukanlah ibu kandungmu, Grace. Bukan wanita yang melahirkanmu ke dunia ini. Kau terlahir dari rahim wanita berhati selembut kapas. Bahkan aku tidak akan mampu untuk menyamainya. Dia wanita Asia berasal dari Indonesia yang luar biasa, lembut, ceria dan tentu saja sangat memesona sepertimu. Satu hal lagi, dia memegang teguh agamanya, Islam. Ya, Sayang... dalam dirimu mengalir darah seorang wanita muslim. Aku kehilangan akal sampai memisahkanmu dari mereka. Ibu serta saudari kembarmu.
Kau tidak lahir sendirian, Grace. Kalian saling mengisi dalam satu rahim. Sayangnya aku telah merenggutnya. Untuk hal ini aku mohon jangan pula salahkan ayahmu. Aku yakin dia sudah tidak sabar ingin menceritakannya sendiri padamu. Ya, bahkan sejak dulu, sebelum dia membawa saudarimu ke rumah. Maafkan aku karena terlalu takut kehilanganmu. Aku sangat menyayangimu melebihi apa pun di dunia ini. Terima kasih karena menjadi putriku. Memberiku cinta.
Mata Dira melebar. Terkejut dengan apa yang tertulis di sana. “Be-benarkah hal itu, Grace?”
Grace tidak menyahut. Dia masih berusaha mengendalikan diri. Namun matanya tertuju pada paket berwarna cokelat terang di meja. Sejenak dia ragu namun tangannya secara pasti sudah mengambil isi dalam paket itu berupa sebuah mushaf. Membuka halaman pertama dan menemukan selembar kertas. Tulisan dari ibu kandungnya.
Apa kamu tahu, Grace? Tidak akan pernah ada habisnya jika kamu bertanya bagaimana Mama melewati hari tanpamu. Tanpa melihat senyum cantik dari bibirmu. Tanpa menatap mata kelabumu. Selain Yasmine, kamulah sumber kekuatan bagi Mama. Kamu berhak marah karena aku, sebagai ibu kandungmu telah begitu lemah untuk bisa memberikan pelukan hangat padamu. Percayalah bahwa Mama menyayangimu, Nak. Selalu merindukan wajahmu penuh cinta. Maka tetesan air mata ini layaknya perkataan Jalaluddin Rumi:
Menangislah dengan suara keras. Menangis sumber kekuatan yang besar. Seorang Ibu, semua yang dia lakukan adalah menunggu untuk mendengar anaknya menangis. Hanya sedikit rengekan awal dan dia ada di sana. Menangislah, jangan menjadi pendiam dan senyap dengan rasa sakitmu. Merataplah, biarkan susu kasih sayang mengalir ke dalam dirimu. Hujan deras maupun angin, cara awan mengurus kita.
Mencintai dan merinduimu, Grace.
Pertahanan Grace pun runtuh. Dia larut dalam banjir air mata seperti pertama kali menerima paket itu. Dia keluar dari apartemen dengan keadaan kacau. Sampai dia berada di pagar sebuah masjid. Namun ketika hendak meninggalkan tempat itu tetiba seorang wanita bertubuh tinggi ramping menyapa sambil tersenyum cerah. Melihat Grace hanya diam, Madame Eliya mengajak Grace masuk ke mobil. Dia menolak untuk diantar ke apartemen. Wanita itu pun membawa Grace ke rumahnya.
“Ini berkah yang luar biasa, Sayang...,” kata Madame Eliya.
Grace mengangguk lemah. Dia menahan Madame Eliya untuk menelepon Dira. Ada sesuatu yang mencegahnya melakukan itu. Dia sendiri juga masih belum yakin. Dia berada di sana sampai malam dan memutuskan kembali ke apartemen.