Kau lelaki tidak bermoral!
Baru sehari saja perasaan lelaki berambut cokelat itu menjadi kacau. Entah mengapa dengungan tersebut mencapai labirin otak seorang Brian Claude. Sial! semua karena gadis itu. Kalau begini rencanaku akan berantakan! Rutuknya sembari mengepalkan tangan di kursi panjang rumah sakit. Mungkin dia masih harus bersyukur karena hanya ada dua pasien yang yang berada di sana memberikan tatapan miris melihat wajah lebamnya.
Pukulan Rehan memang tidak sampai membuat patah tulang. Namun memakan waktu mengurangi beberapa memar tersebut. Rehan pasti masih mengenalinya. Mereka pernah bertemu di Yogya. Dia ikut di dalam tim penyeleksi untuk program desain kontruksi yang menawarkan kontrak kerjasama dari Turki. Seharusnya saat membaca biografi, dia bisa menduga bahwa pemuda tersebut merupakan adik laki-laki Indira Wijaya. Tapi dia mengabaikan latar belakang, sebab Rehan memang punya kompetensi di bidang itu. Lalu, benarkah sekarang Tuhan sedang tertawa menyaksikan ketololaanku? Brian mengernyit, sejak kapan dia mulai bertanya pada Tuhan?
Brian sudah mulai uring-uringan semenjak bertemu Dira di Bali. Kenangan buruk di masa remajanya mulai melintas. Dia ingin meninggalkan kota itu secepatnya membawa Richaud. Logikanya terus saja menolak akan kehadiran gadis itu. Justru Richaud sampai memusuhinya dan membuat mereka bertengkar hebat saat di Istanbul.
“Aku hanya ingin melihat Dira bahagia. Tapi aku juga yang membuatnya menangis. Karena kemarahanku, justru hanya menyakitinya. Dan itu semua karena orang berengsek sepertimu!"
Brian menanggapinya dengan sinis. “Kau tidak perlu mengejar-ngejar gadis seperti itu. Aku yakin dia telah memasukkan pikiran buruk padamu.”
Richaud mendengus. “Kau lupa? Bukankah kau juga pernah mendapatkan gadis seperti Dira? Aku pastikan kalau kau akan menyesal pernah berkata begitu.”
Menyesal? Rasa khawatirnya justru lebih besar tidak dapat mengendalikan diri. Usahanya saat itu mendinginkan kepala demi menghilangkan pikiran tentang Indira, otomatis gagal. Mengetahui gadis itu berada di ruang kerjanya dengan tatapan curiga. Sekilas ekspresi wajah Dira dari ingin tahu berubah terkejut ketika melihat foto berbingkai di meja. Apa dia mengenali siapa yang ada di foto itu? Pikir Brian. Tunggu, dia bilang apa tadi? Niichan?
Terlepas Dira memiliki rasa penasaran atau kecurigaan, dia hanya ingin segera menyelesaikan urusannya di negara ini. Tanpa ada Dira lagi di dalamnya. Sepertinya usaha tersebut berhasil karena tindakan yang dia lakukan pada Dira saat di pintu toilet. Melihat tangan gadis itu terayun, mendadak pikiran aneh muncul. Dia ingin tahu apa yang dipikirkan Dira tentangnya? Benci, atau takut?
***
Dira bersama Grace sedang bercakap-cakap memasuki gedung apartemen. Mereka baru saja selesai berbelanja. Teguran Osman membuat keduanya menghentikan obrolan. Dira yang lebih dulu merasa aneh dengan tatapan pria itu.
“Apa ada yang ingin Anda bicarakan denganku?” tanya Dira.
“Undangan makan malam untukmu jam delapan tepat,” kata Osman memberi kedipan penuh arti.
“Benarkah? Lelaki manakah yang ingin bertemu dengan iparku ini?” sambar Grace tampak antusias.
Dira memeloloti Grace. Iparnya itu terlalu usil jika sudah menyangkut kisah asmara.
“Dr. Louis Maurier," Osman menjawab dengan seulas senyum.
"Siapa itu?" tanya Dira dengan polos.
"Eh, kau tidak tahu siapa dia?" Osman si penjaga keamanan tampak heran. "Itu mustahil. Jelas-jelas dia menelponku, memberitahu nama lengkapmu. Seakan kalian sudah saling mengenal cukup lama."
“Dokter itu sangat terkenal, Dir. Dia datang dari Kanada," Grace membantu menjawab.
Dira menatap Grace. Iparnya itu mengangguk. Membenarkan apa yang ada dipikirannya.
"Bagaimana?" Grace bertanya memandangnya penuh perhatian. "Perlukah aku menghubungi Brian untuk memperingatinya lagi?"
Dira berpikir sejenak. Dia yakin sahabatnya itu benar-benar akan melakukannya. Terbukti sebelum dia memberitahu siapa CEO hotel tempatnya magang, Grace sudah lebih dulu mengetahuinya bahwa lelaki itu adalah Brian. Berkat akun e-mail milik lelaki itu yang pernah diketahui Grace hendak mengirimkan tugas kuliah lewat ponsel Brian saat di Bali. Grace meminta bertemu sebelum berangkat ke Jepang.
"Aku tidak menyangka dia masih nekat ingin mencelakaimu, Dir!" ujar Grace usai kejadian saat mereka berbincang di balkon. "Aku tidak suka kalian harus bertemu lagi sekarang."
Saat ini, mendengar dokter dari Kanada itu ingin bertemu membuatnya bimbang. "Kau bilang dia dokter terkenal, kan? Kupikir aku harus menghargai waktu yang dia luangkan mengingat berapa banyak pasien menunggu untuk ditanganinya."
"Jawaban yang bijak, Nona," ucap pria bernama Osman itu.
“Baiklah kalau kau sudah membuat keputusan," tukas Grace mengambil tas plastik dari tangan Dira, lalu mengedipkan mata sambil berkata, “Kali ini aku tidak akan mencegahmu. Aku ingin beristirahat. Rehan sudah menungguku di flat. Sekarang pergilah."
Grace mengabaikan tatapan memperingatkan dari Dira dan berlagak mengusirnya. Dia berlalu menaiki lift. Osman, penjaga pintu itu tersenyum maklum. Dira menggelengkan kepala dan mengembangkan senyum permintaan maaf atas sikap blak-blakan dari Grace. Terlebih lagi dalam rahim Grace sekarang sudah terisi janin berusia tiga minggu, tentu level hormonnya makin tinggi pula.