Dira mengantarkan tamunya sampai di depan pintu. “Terima kasih karena sudah mengunjungi Grace.”
“Kenapa harus berterima kasih,” sahut lelaki bernama Hafez itu terdengar logat Arab dalam suaranya saat berbicara dengan bahasa inggris, “aku hanya ingin memastikan kalau kalian baik-baik saja. Terutama denganmu, Dira.”
Dira mengerutkan kening. Dia tampak bingung. Hafez pun cepat-cepat menambahkan, “Ada baiknya kalau kau ingin terhindar dari tangan-tangan yang bersembunyi di sekitarmu, mulailah dengan meningkatkan kewaspadaan.”
Kerutan Dira semakin dalam. “Dari tangan siapa? Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu.”
Tatapan Hafez berubah serius. Suaranya terdengar lembut. “Kalau besok kau ada waktu, aku akan memberikan jawaban yang seharusnya kau ketahui. Aku tidak ingin kau mengalami hal buruk.”
Kata-kata Hafez tersebut meninggalkan kecamuk dalam benak Dira. Bahkan sampai berhari-hari dia tetap tidak bisa berhenti berpikir. Apa yang harus aku ketahui? Hal buruk tentang apa? Lelaki bernama Hafez Khadim itu merupakan restaurant manager di hotel yang sebelumnya berada di Istanbul. Mereka sering melakukan diskusi menyangkut kontrak kerjasama dengan berbagai kedutaan Asia dalam mempromosikan masakan Asia pula. Dira melibatkan diri untuk menampilkan makanan khas Indonesia. Dia berkenalan dengan Hafez ketika menemani Grace check-up di rumah sakit. Mereka bertemu di apotek karena resep obat mereka tertukar.
“Jangan terlalu dekat dengan orang yang baru kita kenal. Apalagi kalau tujuanmu untuk menghindari seseorang,” kata Grace ketika memasuki kamarnya dan duduk di ranjang.
“Kami berteman baik dan aku tidak menghindar dari siapa-siapa.”
Grace menarik napas panjang lalu mengembuskannya secara berlebihan. Dia menatap Dira dengan serius. “Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku.”
Dira tampak berpikir. Grace tidak perlu tahu pembicaraannya dengan Hafez. Dia baru saja sembuh. Memasuki kehamilan muda, Grace selalu merasa mual sehingga Dira membuatkan makanan dan Rehan menemani di kamar. Baru pagi tadi dia bisa punya waktu menjalankan aktivitas.
Ketika hendak membuka mulut terdengar bunyi nada pintu depan, “Suamimu sudah pulang.”
Grace mendecakkan lidah. “Ya, kali ini aku membiarkanmu menang. Tapi kau tetap harus mewaspadai siapa pun orangnya, Dir."
***
Selepas Grace meninggalkan kamarnya, mata Dira masih terbuka lebar. Jika harus berkata jujur dia akan memilih memuntahkan seluruh amarah, rasa bimbang juga ketakutan yang bersarang di otaknya. Tapi entah kenapa dia tidak bisa. Tidak untuk saat ini. Sekarang dia mulai memikirkan ucapan Dr. Louis padanya kala menyelesaikan makan malam waktu itu.
“Aku tahu kebiasaan buruknya,” kata Louis ketika mereka hendak menyelesaikan makan malam saat itu. “Selama bertahun-tahun hidup dalam kebebasan, tentu tidak mudah dilepaskan begitu saja, bukan? Meski begitu, aku menginginkan hal baik datang padanya. Mungkin saja itu dirimu, Dira."
Hal baik itu dirinya? Selama ini Brian Claude telah melakukan banyak hal buruk itu padanya. Itu mustahil. Terlebih informasi dari Hafez memberi gambaran tentang rencana yang akan dilakukan Brian. Tiga hari dari pertemuan mereka, Hafez banyak berada di luar hotel bepergian ke sejumlah kedutaan. Sore tadi mereka baru bisa bertemu di area kampus dengan sikapnya terkesan waspada.
“Aku minta maaf padamu karena sudah mengingkari janji,” ucapnya setelah pelayan kafe meninggalkan mereka.
“Tidak apa-apa,” balas Dira memaklumi. “Bukankah kau banyak menghabiskan waktu di luar hotel? Tentu saja kau...”
“Tidak,” tukas Hafez. “Tangan-tangan yang bersembunyi itu sudah dekat, Dira. Dia sudah merencanakannya agar kita tidak bisa bertemu dengan cara menyingkirkanku.”
Dira menaikkan alisnya. “Hafez... apa yang sebenarnya kaubicarakan? Dia siapa?”
Hafez menatap Dira lurus-lurus. “Mr. Claude. Dia tidak akan membiarkanmu keluar dari hotel. Dia melakukan itu hanya demi kepentingannya sendiri.”
Ketegangan memenuhi saraf Dira, “Maksudmu karena kontrak kerjasama itu?"
Hafez menghela napas. “Ya, itu salah satunya. Kau masih ingat dengan kabar seorang pegawai yang keluar dari hotel?”
Dira mengangguk pelan. “Dia mengundurkan diri tidak lebih dari seminggu karena aturan...”