Langkah Dira setenang pembawaan wajahnya menuju ruang sidang meja hijau. Rehan dan Grace menunggu di koridor. Grace memandangi punggung Dira yang menjauh memasuki pintu ruang sidang. Saat ini dia merasa cemas. Tangan Rehan menggenggam tangannya lembut untuk menurunkan emosionalnya. Bukankah dia juga harus memikirkan bayi mereka? Sehari sebelum ujian perdebatan mewarnai apartemen ketika Dira mengetahui kalau Grace telah melakukan konspirasi dengan Brian.
Dira berkata dengan marah, "Seharusnya dia langsung saja menolak kontrak kerjasama itu daripada menghancurkan semua usahaku! Apa dia belum cukup mengacaukan hidupku?"
"Aku tahu dia bertemperamen buruk dan arogan," ucap Grace membenarkan. "Tapi aku bisa mengerti karena yang dilakukannya semua itu untuk menjauhkanmu dari Husen."
"Dari mana kau tahu nama itu, Grace?" Dira bertanya heran. "Aku belum bercerita padamu."
"Apa?" Grace menatap Dira gelisah. Bibirnya bungkam. Menyadari ucapan yang seharusnya tidak dia keluarkan.
"Kau melakukan sesuatu yang tidak kuketahui?" tanya Dira memastikan, "Apa kau berkonspirasi dengannya Grace? Lalu siapa lagi yang tahu?"
"Maafkan aku," ujar Grace menyesal. "Rehan juga mengetahuinya."
Pengakuan itu membuat Dira terduduk lemas di sofa. Dadanya terasa sesak. Dia bertanya dengan nada kecewa, "Apa itu sebabnya kau langsung menyusulku ke hotel? Tahu kalau Brian akan melakukan sesuatu padaku? Kenapa kau berbohong padaku, Grace?"
"Kau benar," ungkap Grace mengakui kesalahannya. "Aku juga tidak menduga jika dia bisa seimpulsif itu. Padahal aku sudah memperingatinya agar tidak menyakitimu lagi. Kau berhak marah padaku."
"Apa masih ada lagi yang kausembunyikan dariku?" tanya Dira lagi
Grace menghela napas panjang. "Kau masih ingat seorang pegawai yang meninggal di hotel? Gadis itu adalah kekasih Husen."
Dira membelalakkan matanya. "Apa?"
"Apa kau juga ingat pertama kali kita bertemu dengannya di apotek?" Grace bertanya pelan.
Dira mengangguk. “Aku mulai curiga ketika melihat brosur yang ingin ditebusnya. Aku pernah menebus obat yang seperti itu juga untuk Ibuku sebagai obat penenang. Husen mengalami depresi berat setelah kekasihnya meninggal. Dia beranggapan bahwa Brian-lah yang telah menewaskannya. Maka dia ingin membalaskan dendam lewat dirimu, Dira.”
"Aku? Kenapa?"
"Karena kau satu-satunya wanita yang menarik perhatian Richaud dan Brian. Terlebih lagi kau juga punya penampilan yang sama seperti kekasihnya."
Dira termenung. Masih mengolah informasi yang baru saja diterimanya. Dia tidak menyadari Grace beranjak ke kamar, lalu duduk di sampingnya meletakkan kotak putih di meja. Mengeluarkan setumpuk amplop berwarna kuning kecokelatan.
"Surat-surat itu sudah dikirimkan pada Brian sejak di Bali. Yang semua berisi ancaman untuk mencelakakanmu, Dira. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi padamu."
"Di Bali? Apa itu artinya..."
"Ya, semua yang dilakukannya padamu karena surat-surat ini, agar kau dan Richaud menjauh."
"Tapi, apakah itu benar kalau Brian telah menewaskan gadis itu? Apa dia membunuhnya, Grace?"
Grace menghela napas, "Entahlah. Brian tidak menjelaskannya padaku. Tapi terlepas dari hal itu, dia ingin melindungimu. Apa kau sempat bertanya padanya?"
Grace melihat iparnya itu hanya diam. Tidak memberikan jawaban. Dia hanya berharap Brian segera menuntaskan masalah ini.
Setelah dua jam berlalu, atmosfer di penjuru koridor itu menjadi lebih segar kala Dira keluar dari ruang sidang dengan senyum cerah serta mata berbinar. Di belakangnya Profesor Rasyid tampak senang.
Grace langsung memeluknya begitu lega dan mengamati wajah Dira, “Apa sekarang kau bisa menambah gelar baru di belakang namamu?"
"Tentu saja," sambut Profesor Rasyid terlihat bangga.
"Benarkah itu?" tanya Madame Eliya yang baru saja tiba usai dari perpustakaan.
Dira mengangguk seraya mengembangkan senyumnya. Mereka berjalan keluar menuju pintu depan Universitas.
"Ikutlah bersama Madame Eliya, Grace. Aku akan mengantar Mbak Dira ke hotel."
“Sebaiknya begitu,” sahut Madame Eliya menyetujui.
Grace memandang Dira lama. Khawatir meninggalkannya. Meski Husen sudah ditangkap polisi, rasa was-was masih menelusup pada dirinya.
"Jangan biarkan ponakanku tidak bisa beristirahat malam ini," Dira berkata kemudian. "Aku tidak akan lama. Hanya menyelesaikan beberapa dokumen dan berpamitan pada Mr. Berna sebelum meninggalkan hotel."
"Kalau dalam satu jam kau tidak pulang, aku akan menjemputmu dengan paksa!" ancam Grace dengan mimik serius.
Dira menggelengkan kepala, lalu berkata menahan tawanya, "Omelanmu melebihi ibuku, Grace. Syukurlah adikku ini bisa menahannya dengan baik."