Bip bip bip
Monitor di kamar berlayanan super mewah berbunyi nyaring dalam hening malam. Ruangan itu menjadi salah satu tempat yang sering mendapat perhatian dari tim medis. Termasuk Brian Claude masih belum mau beranjak dari sofa yang didudukinya sejak sore. Menatap Indira dengan sedih lewat mata biru tuanya. Waktu sudah berjalan 35 hari 840 jam 10 menit 25 detik terhitung usai tragedi di hotel. Brian takjim menghitung setiap pergantian waktu ke waktu hanya untuk melihat Dira kembali membuka mata.
"Apa yang salah dengannya? Bukankah kau bilang semua tanda vitalnya baik-baik saja, Paman? Tapi nyatanya dia masih seperti itu. Apa yang membuatnya belum bangun juga? Mungkinkah doaku belum cukup untuk menggerakkan-Nya membangunkan Indira?"
Louis Maurier sejenak menghentikan aktivitasnya melakukan pemeriksaan rutin pada Indira. Ditatapnya wajah pucat dari gadis itu. Tidur dengan tenang. Lalu pandangannya beralih ke lelaki berparas brewok duduk gelisah. Tanpa ditemani secangkir minuman maupun camilan di atas meja. Dia bisa melihat betapa tersiksanya pemuda itu. Kecemasan, bahkan rasa takut sangatlah terpampang jelas pada dirinya. Dia seolah kembali diingatkan oleh kejadian enam tahun lalu.
Selesai memeriksa keadaan gadis yang tergeletak di lantai apartemen, Brian melontarkan pertanyaan tidak teratur dan terbata dari mulutnya, “Gadis itu... dia... Kenapa dengannya? Kenapa tiba-tiba dia seperti itu? Apa dia baik-baik saja? Dia tidak... mati, bukan? Kenapa diam saja Katakan padaku Paman! Kenapa... dia tidak bergerak?"
Louis terpaksa mengambil tindakan, memberinya suntikan bius dengan dosis tinggi, sebab Brian terus melawan. Di saat pingsan, bersama Richaud yang datang ke tempat itu, mereka memindahkan Brian ke hotel. Mereka menyiapkan alibi Brian mabuk ketika merayakan pesta ulang tahunnya. Jenazah gadis itu dipulangkan ke negara asal—Mesir, tanpa dilakukan otopsi. Tanpa diduga, akibat guncangan hebat tersebut, alam bawah sadar Brian langsung memblokir peristiwa itu. Tanpa mereka ketahui apa sebenarnya yang terjadi di antara si gadis dan pemuda itu. Bahkan sampai memicu hilangnya sebagian ingatan dari Brian.
Kejadian yang menimpa gadis bernama Indira saat ini membuat Louis takut. Dia khawatir Brian tidak bisa mengendalikan dirinya lagi seperti dulu. Namun kali ini dia harus percaya dengan apa yang tengah diyakini pemuda itu. Meyakini kekuatan doa dan juga sederet bacaan dari ayat-ayat kitab suci Al-Quran yang diikrarkan Brian ketika menjadi seorang mualaf.
***
Kekosongan yang dialami Brian Claude membuat dirinya tenggelam dalam lamunan. Dikemudikannya mobil tanpa tujuan. Dia hanya mengikuti jalanan lurus di depannya. Pada akhirnya, suara klakson dari bus yang meraung nyaring di gendang telinganya, mampu memberi perintah kakinya untuk gesit menginjak pedal rem demi menghentikan mobilnya yang nyaris saling menabrak. Usai mendapatkan kembali kesadarannya, Brian memastikan lokasi tempatnya berada. Terik matahari di cakrawala berganti semburat merah saga.
Tepat di seberang jalan tempatnya menepikan mobil, terdapat deretan kios jajanan. Dia berada di kawasan Konya. Dan, tunggu. Pikirannya mulai mengamati layar GPS mobil. Benar saja, dia sudah keluar dari Kota Izmir. Dia telah mengemudi sejauh 349 mil dengan 562 km, setara 6 jam 47 menit. Berkendara dalam keadaan emosi dan pikiran kacau membuatnya lupa akan lelah. Sejenak disandarkan punggungnya. Sunset hampir sepenuhnya menenggelamkan diri di balik awan.
Sekilas matanya menangkap cover buku berwarna kuning. Tertulis judul Lâ Tahzan dicetak dengan warna tinta putih. Di bawah tulisan itu diikuti dua suku kata bertuliskan 'Jangan Bersedih!' yang sudah diterjemahkan menggunakan edisi berbahasa Indonesia. Ditulis oleh Dr. 'Aidh al_Qarni. Buku tersebut ditemukan regu penyelamat dari barang-barang yang ada di dalam tas Indira. Dia juga pernah melihatnya saat benda itu terjatuh di pasir putih Pantai Sanur Bali.
Tampaknya, sampai sekarang pun buku itu selalu dibawa oleh si pemilik. Dia menjadi penasaran dengan isi teks di dalamnya.

Hal pertama yang terlintas dalam pikiran Brian adalah kata 'doa'. Dia tercenung. Berdiam diri cukup lama. Permohonan dan Tuhan? Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia berdoa dengan sungguh-sungguh. Mungkinkah aku pantas berdoa untuk Dira? Dan bagaimana caranya agar permohonanku itu bisa didengar? Matanya kembali menatap deretan huruf di lembar halaman buku itu. Dia menemukan cara. Lewat wajah yang menunduk, hidung melekat pada tempat sujud, mengangkat kedua tangan, lalu dibukanya telapak tangan. Tetapi lagi-lagi dirinya menemukan kebuntuan. Kalimat seperti apa yang harus dibacanya?
Brian mulai menyadari saat ketidakberdayaan menghampirinya. Tanpa terasa pipinya hangat oleh lelehan air mata. Di sela tangis, sayup-sayup didengar irama merdu dari penjuru kota ini. Dia tahu apa yang sedang didengungkan oleh si pengisi suara. Itu kumandang azan. Menyerukan umat muslim untuk menunaikan ibadah. Profesor Rasyid pernah bercerita padanya saat kecil. Serta merta, terlintas dipikirannya untuk menghubungi pria itu.
"Baru saja aku ingin menghubungimu. Aku sedang ada di Konya. Ada pekerjaan yang kutangani di sini."
"Benarkah? Kalau begitu kirimkan padaku sekarang alamatmu, Paman. Aku membutuhkan bantuanmu."
Brian menutup telepon. Dia bergegas melajukan mobilnya ke tempat tujuan. Mendadak dia merasa gugup. Dadanya dipenuhi berbagai emosi, yang sulit dipahami.
"Aku tidak percaya kau datang kurang dari 30 menit setelah kau menutup telepon," Guru Besar itu benar-benar terkejut melihat Brian sudah duduk di depannya. "Tunggu. Entah mengapa aku jadi takut dengan alasan yang ingin kaubicarakan itu. Kau seperti bukan Brian Claude yang kukenal."
Brian tidak menjawab. Terlihat gelisah dan ragu. Rasyid pun berkomentar, "Ada apa sebenarnya ini, Claude? Kau benar-benar membutuhkan bantuanku? Soal apa? Apa ini... berkaitan dengan Indira?"
"Aku...," ucap Brian, masih ragu, "bisakah aku belajar cara berdoa yang baik? Maksudku... apa aku juga bisa berdoa pada Tuhan?"
Rasyid hanya diam memandang Brian. Sangat lama. Ketukan jam dinding di kamar hotel bernuansa modern itu bergerak ke angka delapan waktu setempat. Senyap.
"Aku akan menjelaskan banyak hal padamu," ujar Profesor Rasyid akhirnya. "Semua hal yang ingin kau ketahui dan belum kau pahami. Tapi tidak sekarang, Claude. Kau lihat jam berapa sekarang? Aku belum makan malam. Kau tidak ingin mengisi perutmu itu? Aku tidak ingin kau pingsan sebelum mendengar kuliah dariku."
***
Kuliah seperti yang Profesor Rasyid katakan diluar bayangan Brian. Memang bukan sekadar kuliah biasa. Bukan duduk di bangku kampus, bukan menulis materi di papan white board, dan bukan pula menggunakan layar presentasi. Dia hanya perlu jalan-jalan. Melatih mata untuk mengamati, memfokuskan pendengaran selagi kaki melangkah.
"Sebenarnya bukan aku yang memberi penjelasan, tapi alamlah yang bercerita padamu," ujar Profesor Rasyid, saat mereka memasuki kawasan Museum Mevlana. "Lihatlah semua hal yang ada di Negeri Para Sufi ini, Claude. Biarkan hatimu yang merasakannya dan pikiranmu yang mencernanya dengan perlahan. Dengan begitu kau akan mampu menilai serta membuat keputusan untuk jalan hidupmu."