Sangat perlahan pandangan mata Dira mengamati langit-langit kamar, senada dengan lampu putih menggantung di atasnya. Mendengar suara Grace, membuatnya diliputi rasa hangat sekaligus terkejut. Dira pun mulai menyadari saat mulutnya terhalang oleh selang yang tidak diketahuinya berasal dari mana. Dia bisa merasakan tubuhnya tengah terbaring di tempat tidur. Tunggu. Ada apa ini? Diamatinya ruangan tersebut. Ini bukan kamarnya di flat apartemen. Dia memang berada di tempat lain. Tempat yang sama sekali tidak ingin dikunjunginya. Namun, sebelum bisa memahami situasi, sekitar ranjangnya telah dipenuhi banyak wajah.
Satu demi satu wajah-wajah di depannya terlihat semakin jelas. Rehan mendekap Grace yang sedang menangis. Madame Eliya beserta Profesor Rasyid tersenyum getir sembari menyeka air mata mereka. Tampak pula Dr. Louis bercakap-cakap memberi segala intruksi pada perawat. Dalam penglihatannya itu, di antara pengunjung tampak lelaki dengan wajah ditutupi oleh brewok menatapnya.
Bibir Dira bergerak ingin membalas tatapan para pengunjung itu, tapi mendadak tersendat. Dia hanya mampu mengeluarkan sebuah erangan kesakitan sehingga membuat kepanikan orang-orang di sana. Dia mendengar semua bersuara secara bersamaan. Dia mengentakkan jemari lalu mencengkeram seprai ranjang atas rasa sakit yang tidak tertahankan. Di sela-sela jarak pandangnya kian mengabur, Dira sempat mendengar Dr. Louis berkata, "Aku perlu melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mengetahui sejauh apa efek yang ditimbulkan atas operasi amandelnya."
Sekali lagi Grace memandang iparnya tertidur. Kali ini bukan untuk waktu lama, namun karena efek suntikan agar membuat Dira tenang. Tidak hanya dirinya, mereka yang datang berkunjung sangat panik saat Dira meronta kesakitan. Dia bahkan nyaris berteriak jika Rehan tidak mencegahnya. Hanya saja perkataan Dr. Louis bukanlah perkara mudah untuk dia terima.
Akibat pembengkakan laring, terjadi cedera leher dan dada bagian atas Indira. Sehingga memengaruhi saraf kotak suara. Hal itu akan berpengaruh juga terhadap pita suara atas kemampuannya dalam berbicara
Usai melakukan pemeriksaan, Dr. Louis menambahkan, "Aku ingin saat Indira bangun, ada orang di sampingnya. Dan cobalah untuk menenangkannya. Aku akan berusaha untuk membantunya."
Satu jam berlalu, Dira terbangun. Grace mengguratkan senyum, lalu menepuk punggung tangan Dira dengan lembut. "Lakukanlah perlahan. Tidak perlu terburu-buru. Kau hanya perlu memulihkan diri. Kau bisa melakukannya, kan?"
Dira mengernyitkan dahi. Ingin mengatakan sesuatu. Grace mengerti. Dia berujar dengan pelan, "Ya, aku juga akan beristirahat. Perlukah aku tidur di sampingmu? Tapi kau harus berbagi untuk satu orang lagi," Grace menunjuk perutnya, "kau tidak masalah dengan itu?"
Tangan Dira terangkat, Grace segera meletakkannya, menyentuh perutnya. Merasa ada gerakan di dalam sana, Dira tersenyum. Senyum pertama yang diperlihatkannya setelah terlelap tidur. Air mata menetes ke pipi, tanpa suara. Tanpa isakan. Saat ini dia sungguh ingin berbicara pada Grace. Ingin membuat wanita di depannya ini untuk tidak mengkhawatirkannya lagi.
"Tidak. Kumohon jangan menangis," ucap Grace menyeka air mata dari pipi Dira. "Jangan memaksakan dirimu. Kita akan melewati ini bersama. Hm."
***
Selang sepekan, Dira membuat permohonan pada Rehan dan Grace untuk keluar dari rumah sakit. Mereka tahu bahwa Dira sudah menunjukkan rasa tidak betahnya dengan kesulitan tidur, serta gelisah. Meski hal itu dirasa belum cukup bagi Dira memulihkan diri, namun Dr. Louis memberi saran yang membuat mereka sedikit lega.
“Sebagai orang luar, aku memang tidak berhak melarangmu untuk tetap di sini. Tapi selaku doktermu, aku berkewajiban mengingatkanmu untuk tidak membolos dalam pengobatan. Jika kau setuju, aku bisa memberimu izin. Dan satu hal lagi," Louis berpikir sejenak, "bisakah kau memberiku kesempatan untuk merawatmu? Aku harap dengan melakukan hal ini, dapat pula menebus waktuku di saat tidak bisa merawat Patricia."
Dira mengangguk. Menandakan persetujuannya. Bagaimana mungkin dia mampu menolak keinginan seorang ayah yang begitu merindukan putrinya? Hal itu mengingatkannya pada sosok sang ayah. Mereka mengemasi segala keperluan Dira dan kembali ke apartemen.
"Aku sangat senang bisa melihatmu kembali ke sini," Osman menyapa Dira saat tiba di pintu masuk apartemen dengan kursi roda. "Oh ya, aku juga ingin kapan-kapan kau bisa mengajari cucuku membuat origami lagi."
"Y-ya. T-tentu," ucap Dira dengan terbata. Dia bisa melakukan percakapan sebatas kata-kata pendek. Louis menyarankannya agar melakukan hal itu.
Grace pula yang mengurus perpanjangan surat izin menetap selagi Dira menjalani terapi suara. Dira sempat ingin mundur karena tidak mampu menahan serangan hebat ketika melakukan segala macam instruksi dari terapis. Seperti saat memintanya melakukan latihan memperkuat pita suara, mengendalikan napas dan bicara, mencegah ketegangan otot lain di dekat pita suara, serta melindungi jalan napas dari makanan dan minuman. Louis juga berada di sana selagi Dira melakukan sesi terapi. Pria itu pula yang mengirimkan seorang terapis untuk membantu Dira. Mereka akan melihat setiap perkembangan terapi, jika tidak memberikan hasil, maka mereka akan menerapkan jalan operasi.
Dira sangat bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang tiada henti sebagai motivatornya di saat terjatuh. Sekarang dia duduk diterangi sorot lampu di balkon. Jika dulu dia menyukai menatap sang fajar dalam kamar yang tanpa penerangan, maka kini kegelapan menjadi musuhnya. Bayangan dari ketakutan dan rasa cemas akan kejadian mengerikan itu melintas cepat menyergapnya.
Dira meraih bingkisan berpita merah muda di meja. Dia tersenyum miris sama sekali tidak punya ingatan tentang hari bersejarahnya yang telah menanjak ke usia 26. Apalagi mengenai perayaan tahun baru. Dia hanya memiliki gambaran ketika terjebak di kegelapan berjuang menghalau sesak dalam ruangan. Dibukanya kotak itu. Terdapat sebuah agenda berwarna hitam dan buku bersampul kuning dengan judul La Tahzan. Buku miliknya. Sembari memejamkan mata, sekelebat suasana di flat menumbuhkan rekaman pesta ulang tahun semalam.
***
Dalam satu detik pencahayaan di flat meredup. Berkat Madame Eliya yang menggenggam tangannya, Dira berhasil menghalau rasa takutnya akan suasana gelap. Dia mengembuskan napas. Sejenak tertegun oleh sinar lampu menyoroti proyektor di ruang duduk. Perlahan muncul siluet dari sepasang sayap kupu-kupu bergerak lincah melintasi cakrawala. Si kupu-kupu memperlambat kepakan sayap, melewati kesibukan dari seorang gadis berkerudung merah marun tengah menatap deretan lukisan.
Tampilan layar berganti secara slow motions. Dira tampak tercengang. Latar gambar itu menampilkan kemegahan Candi Prambanan yang berdiri kokoh di kota Yogyakarta. Bangunan bersejarah di wilayah Indonesia, tanah airnya. Slide bergerak lagi. Kali ini memberi nuansa atas pesona alam. Padi menghijau di persawahan berundak begitu menyegarkan mata. Seketika Dira terhenyak saat gambar tersebut menunjukkan sebuah salah satu puri di Bali. Lokasi yang sempat dikunjungi nya bersama para siswa/i SD. Seolah mengembalikan memori tersebut dalam cuaca hujan mewarnai perjalanan mereka, lalu mengerjap ketika wajah Brian Claude muncul begitu saja menembus ingatannya. Segera dihapus bayangan itu. Ternyata layar sudah berpindah ke Izmir Clock Tower beserta laut Aegean, Turki. Menjadi destinasinya saat ini. Cahaya lampu telah kembali mengisi ruangan. Sajian film dokumenter itu pun berakhir.
Dira menatap cahaya yang berpendar di langit Izmir dari balkon, sementara yang lain di ruang duduk menikmati kopi maupun teh. Dia merasa kesal karena kesulitan mengambil cangkir minuman di meja. Tetiba sebelum cangkir terlepas dari tangannya, dia merasakan seseorang tengah menahan benda itu agar tidak jatuh.
“Apa yang kaulakukan di sini sendirian?” Dr. Louis memberikan cangkir itu pada Dira diiringi senyum. “Maaf kalau aku telah menunjukkan rekaman itu tanpa izinmu,” sambungnya lagi. "Tapi apakah aku sudah membuatmu marah sampai kau berdiam diri di sini?"
"Tidak. Saya hanya ingin menghabiskan waktu di sini sebelum kembali ke Indonesia," jawab Dira dengan pelan disertai suara serak. Sesi terapi yang dilakukan memberi hasil mengeluarkan suara, meski tidak tidak sepenuhnya mengembalikan suara normalnya.
"Begitu ya," balas Louis merenung. "Apa itu berarti setelah acara wisudamu?"
"Direncanakan seperti itu," timpal Dira. "Apa ada yang ingin Anda bicarakan?"
"Ah, tunggu sebentar," ujarnya membuka tas hitam kerjanya yang disampirkan ke kursi, "ini bukan hadiah ulang tahun. Tapi sesuatu yang dipinjamnya darimu."
"Dipinjamnya?" tanya Dira tidak mengerti.
"Kau bisa membukanya nanti," Louis berujar sembari melihat arlojinya. "Sudah waktunya untuk beristirahat. Kupikir mereka juga sudah bersiap untuk pulang."
'Mereka' yang dimaksudkan itu adalah pasangan Ahmed. Kelihatannya memang benar. Di ruang duduk sudah tidak terlihat lagi makanan dan minuman di meja.
"Sekarang, kau bisa mengistirahatkan diri," Madame Eliya berkata seraya memeluk Dira.
"Aku sudah lebih dulu memberitahunya," ujar Louis. "Kau memang punya bakat menjadi Dokter, El. Tidak seperti Profesor di sebelahmu itu, melihat jarum suntik saja sudah membuatnya ketakutan."
"Itu karena aku bertemu dengan Dokter cerewet sepertimu," sahut Profesor Rasyid kembali melontarkan sindirannya.
Mereka tertawa bersama akan adu argumen yang dilontarkan oleh kedua pria paruh baya itu.