Bingkai foto berukuran dua belas cm berdiri tegak di atas meja kayu ruang keluarga dengan menampilkan sepasang ibu─anak. Keduanya memakai kimono jenis Tsukesage. Perbedaannya hanya terletak pada obi (sabuk kain) di bagian perut/pinggang berpola bunga sakura dengan warna purple milik si ibu. Sementara pola bunga sakura si kecil berwarna merah muda. Di ruangan itu masih ada satu lagi bingkai foto lebih besar terpajang di dinding dekat perapian. Menampilkan foto keluarga berpakaian formal saat upacara kelulusan Sekolah Dasar putri mereka.
Senyum tipis merekah di bibir Yasmine. Sekali lagi dia mengamati setiap sudut ruangan itu. Tangannya bergerak meraih bingkai foto ibu─anak tersebut, lalu memasukkannya ke koper.
“Sekarang rumah ini benar-benar akan kehilangan penghuninya,” ujar pria berkacamata tebal di sampingnya.
Gadis itu menatap serius. “Tentu saja hal itu akan terjadi kalau Paman masih menolak warisan keluarga Tamada,” balas Yasmine tertawa kecil.
“Astaga, ternyata kau punya bakat lain sekarang!” Hiro tidak kuasa menyemburkan seruannya dengan mencubit pelan hidung gadis itu. Dia tertawa nyaring. Tapi setelahnya dia merasakan sebulir air menyentuh tangannya.
Hiro menyapukan jemarinya ke pipi Yasmine. “Apa sekarang kau mau melupakan orang tua ini juga?”
“Melupakan? Yang benar saja!" Protes Yasmine.
"Aku tahu itu. Hanya saja...," Hiro termenung.
"Maafkan aku, karena lagi-lagi harus membuatmu cemas,” Yasmine berkata sembari menarik napas berat. “Sejak dulu dan sampai detik ini pun, aku begitu bahagia menjadi bagian dari keluarga Tamada. Lalu mana mungkin aku melupakanmu di sini? Itu sangat konyol!"
“Tidak, tolong jangan berkata begitu. Akulah orang yang bertanggung jawab atas hidupmu. Jadi... sudah seharusnya aku yang memohon maaf padamu.”
Rasa bersalah yang terasa kental dari ucapan pria itu, membuat hati Yasmine nyeri. Dia pun tak kuasa mengeluarkan tangisan dalam dekapan Hiro. Sudah beberapa hari ini dia mencoba menahan airmata agar tidak tumpah. Dia pikir jika memiliki keteguhan pikiran, maka hatinya tidak akan melemah. Ternyata dia tidak cukup kuat meninggalkan negeri matahari terbit tersebut yang telah menguraikan cerita hidupnya hingga usia dua puluh sembilan tahun. Memang bukan kali pertama dia berpindah tempat, selain Indonesia, tanah kelahiran sang ibu. Namun kali ini berbeda. Lebih berat. Dia akan berjalan sendirian. Tidak ada yang memegang erat tangannya saat takut terseret di keramaian dan tidak ada celotehan kalau dia sampai terlambat menaiki pesawat.
Bagi Yasmine, waktu bertahun-tahun itu terasa begitu singkat saat matanya menatap langit pagi hari ini. Dia masih bisa merasakan sensasi kehangatan percikan sunrise menerpa tubuhnya saat kali pertama menjejakkan kaki ke Jepang, meski kali ini dengan sentuhan beraroma hujan dari airmatanya. Tanpa omelan dan canda tawa sang ibu, Sabrina.
¤¤¤
“Apa yang Yayas suka dari Jepang? Mama ingin dengar pendapatmu,” tanya si ibu pada putrinya saat mereka melihat acara destinasi negeri sakura tersebut di televisi.
“Semuanya,” jawab Yasmine cepat.
“Katakan dengan jelas, Sayang. Itu tidak menjawab pertanyaan Mama.”
“Hmmm... orang-orangnya.”
Ibunya bertanya tidak mengerti. “Maksud Yayas, penduduknya? Memangnya apa yang menarik dari mereka?”